Menemukan Damai di Jakarta

Nabila Ernada
Artikel oleh : Nabila Ernada
Foto oleh : Nabila Ernada
Pin It

Ada periode singkat di mana saya sempat berbelanja brand-brand impor terbaru, pergi ke kafe paling keren, dan membawa kendaraan pribadi hampir ke mana-mana, bahkan ke supermarket terdekat.

Living in Jakarta, di kota yang dicap sebagai kota yang tak pernah tidur - yang mana nightlife memainkan peran besar dalam bagaimana saya menghabiskan malam Minggu — di situlah tiga jam saya habiskan di dalam mobil, terjebak lalu lintas, hanya untuk mencapai satu tujuan — demi lagi-lagi mengucurkan beberapa ratus ribu rupiah, terkungkung dalam stressnya ditahan macet beserta arus keinginan dan kesibukan manusia yang takkan pernah ada habisnya.

 

Itu sempat menjadi gaya hidup saya untuk beberapa waktu, sampai titik di mana saya, akhirnya, tanpa diduga-duga, mampu menemukan kedamaian di jalanan sibuk kota Jakarta.

Saya mulai naik bus, Kopaja, Deborah, Metromini, TransJakartayou name it! Saya mencoba semuanya. Sementara beberapa orang barangkali merasa kenyamanannya terpenuhi dengan membawa kendaraan pribadi, angkutan umum entah mengapa mengisi kebutuhan saya dengan cara yang kebanyakan orang mungkin tidak mengalami.

Loathsome as the bus can be, saya menemukan diri saya menikmati waktu berkualitas untuk diri saya sendiri, hilang dalam ruang dan manusia; bermain, berhenti, dan memutar pikiran sementara bus mengambil jalan di antara mobil-mobil pribadi, yang mana di balik semua kenyamanan para pengendaranya, mereka pun sebetulnya masih terjebak lalu lintas, dituntut untuk terjaga — lenyap bersama pikiran hanyalah angan-angan belaka. 

 

Itu adalah semacam pengalaman yang saya jarang temukan pada waktu-waktu lainnya - dengan attachment yang tidak sehat ke laptop dan internet di rumah, kampus, dan di mana-mana lagi. Ini seperti sebuah detasemen singkat dari kenikmatan yang diberi oleh layar HP dan layar komputer.

Saya menghibur diri dengan membuat suatu daftar mental to-do-list — siapa saja orang yang harus ditelepon dan di-SMS, siapa orang yang tidak lagi saya ajak bicara beserta alasan di baliknya, dan apakah sudah saatnya untuk melepas dendam. Pikiran saya mengembara ke teman-teman saya yang telah berpisah jauh dan tak pernah berkontak lagi, pun teman-teman yang tinggal jauh but is actually just a social media click away, teman-teman yang berkomentar di jejaring sosial saya namun belum saya balas, dan apakah balasan sesungguhnya diperlukan. Nasihat-nasihat random muncul di kepala saya dari waktu ke waktu, namun segera saja terbuang sia-sia. Saya mencoba untuk mengingat hal-hal yang saya lakukan hari sebelumnya, berpikir apakah hal-hal tersebut ada gunanya untuk siapa pun. Saya berpikir tentang hal yang ingin saya mulai lakukan, hal-hal yang tidak pernah saya mulai lakukan, dan menghitung waktu yang tepat untuk memulainya.

Semua pikiran ini dan banyak lagi menempati jidat saya. Beberapa ada yang bertahan—beberapa lainnya hanya butuh satu-dua menit untuk lesap.

Kadang-kadang, pengamen akan mengganggu lamunan saya, memaksa saya untuk mendengarkan lantaran konsentrasi saya begitu mudah terganggu. Rp2.000,00 atau Rp5.000,00 akan masuk ke kantong kecil mereka, but only if they blew me away. Kadang-kadang setelah mereka pergi dan saya kembali ke renungan saya, saya berpikir tentang mereka. Saya ingin tahu apakah mereka akan muncul lagi di bus yang sama keesokan harinya. Ada pun orang-orang yang bernyanyi dan hanya mengganggu, di situ saya membuat catatan mental untuk membawa headphone, mengabaikan fakta bahwa pengamen tertentu terkadang melepaskan amarah ketika tidak didengarkan dengan saksama.

There is always much amusement in realizing the many things to mull over as happenstance readily caters to the mind's need for inspiration. Wanita di kursi belakang mengomel kepada anak mertuanya melalui telepon sedikit terlalu keras, seorang ibu mau tidak mau mesti membelenggu dirinya dalam kesabaran ketika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan tak penting dari anak empat tahunnya, konten buku yang sedang dibaca oleh gadis yang duduk di sebelah, mobil yang melaju dengan cepat di luar jendela, iklan yang dirancang sangat buruk dan seterusnya dan seterusnya.

 

Anehnya, saat-saat seperti ini adalah momentum di mana saya merasa terlepas dari hal-hal yang mengikat saya. Ruang kosong di antara waktu, ruang, dan manusia — di situlah saya merasa bahwa semuanya hanya untuk saya. Kemewahan ini, saya yakin, takkan terjangkau jika saya masih berstress ria di balik kemudi.

I guess there is more to traffic and inconvenient bus rides than just, you know, being stuck.

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos