Mbarang Seni Jantur bagian 1 dari 2

Foto oleh : Dwi Aris Setiawan
Pin It

Mbarang Seni Jantur, "Panji Udan-Enthit Ngerame," oleh Mbah Bima Merapi Timur, Di Kel. Sukorame, Ds. Pojok-Kota Kediri. Sabtu,7 Mei 2016, jam; 19.30 wib.

"Mbarang" merupakan istilah yang dipakai untuk sebutan sebuah pementasan kesenian yang dilakukan dengan cara berkeliling, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Di saat Mbarang, sebuah kelompok kesenian bisa "menetap" di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu selama pertunjukan dilakukan.

Seni Jantur adalah seni bertutur yang dulu menjadi kebiasaan dalam keseharian masyarakat Jawa kuno. Dikala itu bocah-bocah tak pernah lepas dari dunia dongeng. Dan sudah jadi kebiasaan orang - orang tua dulu; mbah-mbah, mak-mak, dan pak-pak, gemar "ber-tutur" dikala anak-cucu mereka beranjak tidur, atau bermain, bernyanyi di kala purnama.

"Enthit" adalah cerita rakyat, salah satu dongeng yang bersumber dari cerita Panji. Cerita "Enthit,"  berkisah tentang penyamaran Panji ketika menjadi seorang petani yang tinggal di desa. Saat kita mau mencerna cerita Enthit, pembaca akan menemukan nilai pesan yang sangat berharga, "mutiara terpendam."

Panji yang bangsawan pun, tetap "bekerja keras," bermandi keringat. Tak hanya ongkang-ongkang, layaknya "ndoro -ndoro" bermental "Kompeni." Ndoro-ndoro yang suka perintah, minta ini dan itu, taunya semua beres. Ketika menyamar jadi Enthit, Panji telah mengajarkan mengenai "revolusi mental." Dan itu berarti, revolusi mental sudah terjadi ribuan tahun silam di negeri ini.

Kembali ke seni jantur, "Panji Udan," sebuah seni dongeng karya Agus Bima Prayitna alias Mbah Merapi Timur.

Pertunjukan mbah Bima di gelar dengan cara sangat sederhana, yaitu; lesehan. Acara tersebut bertempat di sebuah halaman pekarangan rumah milik dari salah satu warga kampung. Acara dikemas santai dan merakyat; membaur dengan penonton. Bahkan sebelum acara dimulai, bocah-bocah sudah banyak yang berdatangan. Mereka langsung akrab dengan mbah Bima yang "ngeleseh," duduk santai sambil menunggu waktu dimulainya acara. Dan perbincanganpun, di situ terjadi. Percakapan yang sangat dekat tanpa sekat dan jarak. 

Bocah: Mbah-mbah! Sampeyan kuwi asalnya dari mana?
Mbah Bima: Aku datang dari jauh, nak. "Wong pucuk gunung," sahut mbah Bima dengan kalem.
Bocah: Gunung Klotok, yo mbah!
Mbah Bima: Bukan, nak! Gunung Merapi kuwi lo, yang terkenal dengan mbah Marijannya.

Bocah: Weh.. hebat! Si mbah sakti. "Roso-roso," celoteh bocah-bocah, sambil tertawa lepas.
Mbah Bima: Ya harus, nak!
Roso, seperti ayam jagonya milik "Panji Laras."
Bocah: Kalau "Roso," nanti bisa jadi Dokter, Presiden atau Dalang, yo mbah?
Mbah Bima: Kekekek, yo bener kuwi. Jempol!  

Pada pertunjukan ini, mbah Bima tidak saja "asyik" bercerita (berdongeng) sendiri. Pertunjukan diselingi dengan mengajak bocah-bocah untuk ikut bernyanyi bersama-sama, seperti; gundul-gundul pacul atau bintang kecil. Lagu anak tersebut, diajarkan secara spontan sebelum acara dimulai. Anak-anak oleh mbah Bima diajak bersenang-senang; bercanda, berbincang, dan bernyanyi- nyanyi sambil bermain alat musik gamelan. Sungguh menarik, pendekatan edukatif yang dilakukan oleh mbah Bima di malam itu. "Patut di apresiasi."  Sebuah "Estetika" berkesenian yang langsung menyentuh dan mengena pada warga desa yang menonton. Bersambung...