Sangkuriang: Lebih Dari Sekedar Legenda

Tatiana Arianne Raisa
Artikel oleh : Tatiana Arianne Raisa
Foto oleh : Tatiana Arianne Raisa
Pin It

Sebuah legenda yang kisahnya di kenal seantero tataran Sunda. Berasal dari Jawa Barat, cerita ini tak hanya mengisahkan terciptanya Gunung Tangkuban Parahu namun legenda ini juga memiliki cerita tersendiri tentang masyarakat Sunda dan falsafahnya.

 

Legenda ini awalnya menceritakan sepasang dewa dewi, yang dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan. Sang dewi berubah menjadi babi hutan bernama Wayung Hyang, sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama Si Tumang. Di bumi, hidup seorang putri raja yang sangatlah cantik jelita bernama Dayang Sumbi yang gemar menenun. Suatu ketika, benang tenun Dayang Sumbi terjatuh, karena merasa malas ia melontarkan janji siapapun yang mengambil benang yang terjatuh tersebut bila laki-laki akan dijadikan suami dan jika perempuan akan dijadikan saudari. Karena Si Tumang lah mengambilkan benang tersebut, Dayang Sumbi harus memenuhi janjinya dan menikahi sang anjing. Si Tumang yang merupakan dewa membuahkan anak bernama Sangkuriang. Suatu ketika, Dayang Sumbi mengidam makan hati kijang dan memerintahkan Sangkurang ditemani Si Tumang untuk berburu. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan jelmaan Wayung Hyang. Karena Si Tumang mengenali Wayung Hyang,  Si Tumang enggan untuk membantu Sangkuriang membunuh babi tersebut, karenanya Si Tumang lah yang terbunuh panah Sangkuriang. Sangkuriang memutuskan untuk membawa hati Si Tumang tanpa mengetahui bahwa itu adalah hati ayahnya sendiri. Terselimuti rasa murka, Dayang Sumbi memukul gayung ke kepala Sangkuriang hingga menimbulkan bekas di kepala dan mengusirnya. Tak perlu waktu lama untuk Dayang Sumbi menyesali perbuatannya, ia pergi bertapa sedangkan Sangkuriang mengembara mengelilingi dunia. Tahun berganti tahun, tapa yang Dayang Sumbi lakukan membuatnya awet muda dan tetap cantik. Sangkuriang yang sekarang tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah, jatuh hati pada kecantikan Dayang Sumbi dan mereka bertunangan tanpa mengetahui bahwa mereka ibu dan anak. Menyadari kesalahannya setelah melihat bekas luka Sangkuriang, Dayang Sumbi segera mencari akal untuk menggagalkan pernikahannya dengan mengajukan Sangkuriang syarat, yaitu membendung Sungai Citarum dan membuat sampan yang sangat besar sebelum fajar. Sangkuriang yang meminta bantuan para makhluk ghaib hampir menyelesaikan persyaratan itu. Tepat sebelum fajar menyingsing, Dayam Sumbi menebarkan helai kain tenun berwarna putih yang bercahaya bagai fajar. Para makhluk halus yang ketakutan pergi menghilang dan Sangkuriang gagal menepati syaratnya. Dalam amarah, perahu yang telah dikerjakan  ditendang ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

 

           

Berawal dari tradisi lisan, rujukan mengenai legenda Sangkuriang pertama kali ditulis pada naskah Bujangga Manik, naskah kuno berbahasa Sunda yang ditulis pada daun lontar yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut, ditulis bahwa Pangeran Bujangga Manik mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15, salah satunya adalah Bandung, Jawa Barat. Naskahnya ditulis sebagai berikut: Leumpang aing ka baratkeun, Datang ka Bukit Patenggeng, Sakakala Sang Kuriang (Aku berjalan ke arah Barat, kemudian datang ke Gunung Patenggeng, tempat legenda Sang Kuriang). Menariknya, dari kisah Sangkuriang kita dapat menentukan lamanya peradaban suku Sunda menempati dataran tinggi Bandung. Dari legenda yang didukung oleh fakta geologi, dapat diperkirakan bahwa masyarakat Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

 

Cerita Sangkuriang yang tidak lazim ini tidak hadir secara percuma, di setiap unsur ceritanya, terkandung falsafah didalamnya. Dalam budaya Hindu Sunda, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan bagi  manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya. Dayang Sumbi menjadi personifikasi kebenaran sejati yang namun dikuasai kebimbangan ketika Dayang Sumbi menikahi Si Tumang yang melahirkan egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan dalam gambaran diri Sangkuriang. Sangkuriang disini dimaknai sebagai makhluk jahat yang mengalami krisis moral dan kepercayaan. Meskipun Dayang Sumbi telah menjelaskan jika ia merupakan ibunya, namun Sangkuriang tetap bersikeras tidak mempercayainya, hal ini menggambarkan manusia yang hilang pegangan hidup. Dari sini, lahirlah peribahasa bahasa Sunda, Hade ku omong, goreng ku omong untuk mengajarkan manusia bersikap dan berbicara baik.

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos