Film “Kuldesak (1997)” tanda kebangkitan perfilman Indonesia

Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Artikel oleh : Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Foto oleh : anonymous
Pin It

Entah mengapa jika bicara mengenai industri musik dan perfilman yang ada di Indonesia, negara kita selalu mengalami hal yang namanya “Pasang Surut”. Sempat kita berada dalam posisi terendah kita dalam musik pada tahun 60’an karena pada saat itu musik kita sedang dibatasi oleh pemerintah dan tidak boleh terkesan kebarat-baratan sehingga menyulitkan para musisi untuk berkreasi serta mencari refrensi tentang musik yang outputnya pada akhirnya menimbulkan menjamurnya musik melayu dan keroncong yang menjadi mainstream pada saat itu dan terkesan monoton. Kemudian era berganti kebebasan berkreasipun kembali membawa sinar terang terhadap musik Indonesia, berujung pada era tahun 2010 dan seterusnya sampai tahun ini dimana musik Indonesia kali ini berada kembali ke posisi terendah mereka dan bisa dibilang “stuck” atau belum berkembang lagi. Pada masa “stuck” inilah lalu mulai muncul keinginan bagi seniman-seniman idealis untuk dapat berkreasi di jalur alternatif yang berbeda dan melawan arus serta cenderung menggerakkan suatu perubahan. Semangat itu sering kita sebut dengan term “Indie” dimana para seniman baik musisi ataupun sinematografer memilih untuk membuat karyanya secara jujur dan leluasa tanpa memikirkan pasar ataupun jenis seni yang sedang popular di masyarakatnya.

 

Menurut saya Indonesia sedang merangkak lagi menuju kearah perubahan atau revolusi dari stagnasi yang dialaminya. Industri musik yang dimotori oleh komunitas-komunitas Indie ini membuahkan hasil yang luar biasa ditandai oleh suksesnya acara Record Store Day Indonesia 2015 bulan april lalu. Suksesnya acara itu bukan hanya dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang namun yang bisa kita amati adalah dimana musisi-musisi muda Indonesia saat ini sudah bangkit lagi gairahnya untuk memproduksi musik-musik dengan warna baru dan dengan genre yang variatif lalu dengan percaya dirinya hasil karya mereka dijual kepada khalayak. Dunia filmpun sedang mengalami kenaikan ditandai dengan film-film berkualitas dengan cita rasa nasionalisme seperti contohnya “Cahaya Dari Timur (2014)”, Nuansa Psychological Thriller yang dibawa oleh film “Modus Anomali (2013)”, sampai drama remaja segar yang saat ini sedang marak diperbincangkan yaitu film “Filosofi Kopi (2015)”. Lalu sebelum film-film tersebut diproduksi, “Kuldesak” yang disebut sebut sebagai embrio kebangkitan perfilman Indonesia itu Film apa sih?

 

592x342_kuldesak_bapaknya_gerakan_film_independen_di_indonesia_130313u.jpg 

 

Sedikit flashback lagi bahwa pada tahun 90’an Industri film Indonesia sangat down akibat produksi film-film horror sex meraja lela di bioskop-bioskop tanah air. Mengapa tidak ternyata masyarakat sangat menyukai jenis-jenis film tersebut, memacu para rumah produksi di Indonesia kebut-kebutan dan ramai-ramai produksi film sejenis. Belum lagi persaingan ketat dengan film-film Hollywood yang ada, membuat Film Indonesia semakin kelabakan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Lalu dari semua jalan buntu itulah muncul Film “Kuldesak” yang mendobrak semua jalan buntu perfilman tersebut. Kuldesak menyuguhkan tema film yang benar-benar melawan arus dan liar. Ditelaah dari konsep film Kuldesak memperkenalkan konsep Film “Omnibus” pertama di Indonesia dan setahu saya belum pernah diproduksi sebelumnya. Film Omnibus karakteristiknya memiliki beberapa cerita atau plot yang berbeda disetiap segmennya dan tidak terpaku dengan satu cerita, seperti kumpulan dari beberapa film pendek yang disatukan menjadi satu kesatuan sebuah film. Contoh ada film Thailand “4Bia” yang filmnya terdiri dari 4 cerita horror berbeda, aktornya beda, sutradaranya pun beda, seolah-olah dalam 1,5 jam yang biasanya kita menonton satu film dan hanya satu cerita, disini kita bisa nonton 4 cerita berbeda sekaligus dengan waktu yang sama. Kuldesak-lah yang pertama kali memperkenalkan Film Omnibus ini.

 

Film ini adalah debut dari beberapa sutradara kenamaan tanah air ada Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Manthovani, dan Nan Achnas. Film ini adalah film kolektif dari beberapa sineas, actor, dan musisi, dan bisa dibilang sebagai Film Indie Indonesia pertama yang sukses di Pasar pada saat itu musisi dan actor yang terlibat saat itu ada Ahmad Dhani, Pure Saturday, Netral, Aksan Sjuman, Sofia Latjuba, Oppie Andaresta, Bucek Depp, Dik Doank, Iwa K, Toro Margen dan masih banyak lagi nama-nama yang lain. Film Kuldesak benar-benar mendobrak dan menampar wajah produser-produser film komersial bahwa tak perlu dengan jenis film yang sama, Film dengan ide yang baru dan melawan arus ternyata bisa sukses. Beda dari film indonesia pada umumnya film ini menampilkan nuansa Black Comedy atau Komedi Satir sehingga agak sedikit perlu kecermatan penonton dalam mengerti “Jokes” yang ada dalam film ini.

 

gallery_kuldesak1.jpg 

Cerita Kuldesak berfokus pada empat penduduk muda Jakarta pada 1990-an. Mereka semua punya mimpi, tapi kadang-kadang hidup memaksa mereka untuk membuat pilihan-pilihan radikal. Ada tokoh Aksan (Wong Aksan) bermimpi untuk membuat sebuah film. Semua yang dia butuhkan adalah Uang, namun ayahnya yang kaya tidak ingin anaknya menjadi seorang pembuat film. Aksan, yang tidak memiliki cukup dorongan untuk membuat impiannya menjadi kenyataan, memutuskan untuk mencuri dari ayahnya. Lalu ada yang menceritakan Andre (Ryan Hidayat) seorang musisi tidak bahagia yang merasa terpengaruh dengan idolanya Kurt Cobain, seorang vokalis dan gitaris dari band grunge  Nirvana asal Amerikqa Serikat yang terkenal di dunia. Dia mencari kenyamanan dan mempertanyakan nasibnya kepada seorang Peramal keliling. Dina (Oppie Andaresta) adalah seorang penjual tiket di bioskop yang terobsesi dengan pembawa acara di TV yang populer. Terjebak dalam obsesinya dia tidak dapat lagi membedakan impian dan kenyataan. Lina (Bianca Adinegoro) bekerja untuk sebuah agency iklan di mana dia ditekan oleh bosnya untuk bekerja lembur. Suatu malam, dia diperkosa. Alih-alih melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang, dia memutuskan untuk mengambil hukum di tangannya sendiri. (Wikipedia). Cerita yang diceritakan pun sangat berbeda dari yang lain, memiliki keunikan tersendiri. Film ini kemudian disusul dengan film-film berkualitas lainnya seperti drama musical keluarga “Petualangan Sherina (2001)” sampai kepada film sastra drama remaja paling fenomenal di Indonesia “Ada Apa Dengan Cinta? (2002)”. Kuldesak juga menuai prestasi dikancah internasional dan ditayangkan premier di lingkup internasional dalam International Film Festival di Rotterdam tahun 1999. Film ini juga mendapatkan nominasi untuk Silver Screen AwardBest Asian Feature Film” dalam Singapore International Film Festival tahun 1999.

photo_2_.JPG

Hingga pada akhirnya saya berkesempatan juga menonton film ini setelah sekian lama penantian. Pada tanggal 30 maret film ini kembali diputar dalam format 35MM roll film sekaligus bernostalgia menonton film langsung melalui format jaman dulu. Film ini diputar pada saat hari film nasional tanggal 30 Maret dan menurut saya sangatlah tepat. J.B Kristanto seorang pengamat film senior penulis buku “katalog film Indonesia” menilai nbahwa film kuldesak dikemas sangat baik sehingga betul-betul mewakili dan merepresentasi dunia anak muda pada eranya (90an). Cara penyajiannya pun memakai gaya penuturan video klip dimana sangat cocok ketika stasiun televisi MTV dengan video-video klip musiknya memang sedang digandrungi oleh anak-anak muda Indonesia saat itu. Tambahnya, Keunikan Kuldesak adalah upaya keempat sutradara yang bersikap netral, mereka tidak memberikan maksud dan penjelasan soal motivasi dari setiap segmen, membebaskan para penonton untuk berfikir dan mengadaptasi maknanya sendiri. Film Kuldesak betul-betul melepaskan diri dari sejarah film Indonesia yang pernah ada, menurut saya film ini mencetus pembaharuan.

photo_3_.JPG 

Indonesia memang pernah mengalami keterpurukan dalam industry perfilmannya, namun Film Kuldesak menunjukan adanya suatu generasi yang berani memberikan gagasan baru dalam berkarya. Padahal boleh dibilang para sutradara yang membuat film ini berangkat dari sebuah gagasan yang remeh, namun terlepas dari itu semua mereka sangat menikmati proses pembuatan film ini tanpa beban, menunjukkan bahwa berkarya adalah sebuah kenikmatan bukan tekanan. Terbukti bahwa sutradara-sutradara film Kuldesak ini ternyata masih sukses dan eksis di dunia perfilman sampai saat ini. Film yang dianggap sebagai bapaknya film independen Indonesia melalui produksinya secara underground dan menentang orde baru ini sangat sulit ditemukan dalam format digital, belum pernah saya menemukannya. Kemudian hal yang disayangkan pula adalah tidak adanya “interest” serta “curiosity” dari anak muda Indonesia terhadap film ini sehingga film ini hanya menjadi sebuah perbincangan dan cerita semata padahal jika kita sudah menontonnya saya jamin penonton akan terkesima melihat betapa berwarnanya kehidupan remaja Indonesia pada masa itu yang sangat dinamis, penuh dengan canda tawa, sampai kepada intrik-intrik sosial yang meliputi kehidupannya.

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos