Tiongkok Kecil di Pesisir Pantura

Foto oleh : Aan Prihandaya
Pin It

01.jpg

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasinya sekitar 12 km ke arah timur dari kota Rembang. Pada awalnya Lasem adalah kerajaan kecil di bawah Majapahit. Di masa itu Lasem telah menjadi kota bandar yang ramai dengan pelabuhan yang disandari kapal-kapal dari wilayah Nusantara timur hingga Asia. Pada abad 15 Lasem telah ramai dihuni etnis Tionghoa. Lasem juga berada di jalur bersejarah. Lasem yang berada di pantai utara Jawa dilintasi oleh jalur Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Setelah kemerdekaan, Lasem digabung menjadi satu kecamatan di wilayah kabupaten Rembang.

02.jpg

Andong, angkutan tradisional yang masih banyak dijumpai di Lasem

Ada berbagai hal yang menarik dan unik yang bisa ditemui di daerah ini. Sebagaimana daerah pesisir utara lainnya, Lasem juga mendapat pengaruh kuat agama Islam. Oleh sebab itu, Lasem juga disebut sebagai kota santri. Bahkan sekitar 5 km di timur Lasem terdapat petilasan yang diyakini adalah Pasujudan atau tempat bersujud Sunan Bonang. Pasujudan Sunan Bonang berada di desa Bonang, Kecamatan Sluke, Rembang. Untuk menuju ke tempat ini harus meniti anak tangga yang cukup panjang karena lokasinya berada di atas bukit. Di sini juga terdapat makam Putri Cempa, yaitu Dewi Indrawati ibunda Sultan Demak Raden Patah,  yang menjadi mubalighah di Bonang hingga akhir hayatnya.

Di seberang pintu tangga menuju Pasujudan, dibatasi oleh jalan raya Rembang - Surabaya terdapat pantai Bonang Binangun. Tepatnya bukan pantai yang berpasir, namun dermaga tempat perahu dan kapal nelayan berlabuh. Sempatkan datang ke lokasi ini pada sore hari karena akan disuguhi pemandangan matahari terbenam dengan bayang-barang ratusan kapal yang berlabuh di sana.

13.jpg

Nelayan bekerjasama menyiapkan jaring bersiap melaut

Selain dermaga perahu nelayan, di sepanjang jalur Pantura juga banyak ditemui hamparan ladang garam. Sebagian penduduk Lasem dan Rembang memanfaatkan lahan di sepanjang pantai utara untuk bertani garam. Mereka mengendapkan air laut yang telah dipompa dan dialirkan melalui sungai kecil ke lahan. Setelah mengendap dan tersengat terik panas matahari selama kurang lebih 3 hari, terbentuklah butiran-butiran kristal warna putih di bawah permukaan air. Butiran-butiran tersebut adalah garam yang siap dipanen.

Lasem disebut juga sebagai daerah pecinan, atau setidaknya dahulu menjadi tempat tinggal pengusaha Cina. Meski sudah banyak yang dihancurkan, namun masih bisa ditemui rumah-rumah kuno bergaya kolonial berdiri kokoh di pinggir jalur pantura. Namun bila melongok ke jalan-jalan kecil di dalam perkampungan, masih banyak terlihat deretan rumah bertembok tinggi dengan cat putih yang memudar dengan satu pintu gerbang di tengahnya. Di balik tembok tersebut rumah-rumah tua bergaya peranakan masih terpelihara. Bahkan masih terdapat beberapa rumah yang dibangun menggunakan kayu tanpa batu bata, dengan ubin terakota yang semakin menegaskan bahwa Lasem adalah Tiongkok Kecil di pantai utara Jawa. Namun rumah-rumah tersebut banyak yang dibiarkan kosong dan tidak terurus. Banyak penghuninya yang memilih pindah ke kota besar, seperti Semarang atau Surabaya untuk berbisnis di sana.

Sejak dahulu Lasem juga dikenal sebagai sentra pengrajin batik. Sejarah Batik Lasem memiliki hubungan erat dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413. Konon, seorang putri dari Champa, bernama Na Li Ni mendarat di Pantai Regol, suatu daerah yang sekarang termasuk kawasan Lasem. Ia kemudian menetap dan mengajari warga membatik.  Orang-orang Lasem meyakini Na Li Ni adalah yang berperan dalam mengembangkan batik Lasem.

Salah seorang yang masih menekuni industri batik Lasem adalah Sigit Witjaksono. Beliau adalah keturunan Cina perantauan (hoakiao) yang menjadi tokoh pembauran. Dibuktikan dengan keberaniannya menyunting gadis Jawa, putri seorang panitera dan keponakan wedono dari Tulungagung, Jawa Timur.

04.jpg

Sigit Witjaksono atau Njo Tjoen Hian, sesepuh pembauran dan batik Lasem

Menurut Sigit, pembauran telah membuat motif batik Lasem menjadi produk silang budaya, terutama antara Jawa dan Cina. Motif yang dibawa dari budaya China adalah motif burung hong, bunga seruni, banji, dan mata uang. Sedangkan motif Jawa bisa dilihat dari motif geometris khas batik Surakarta dan Yogyakarta, seperti parang, kawung, dan udan liris. Selain itu, para perajin batik di Lasem juga menciptakan motif lokal seperti latohan, gunung ringgit, dan kricak atau watu pecah.

Selain lanskap rumah tua dan batik, terdapat juga peninggalan kekuasaan Majapahit dan sisa kejayaan Lasem yang tersebar di beberapa tempat. Namun hanya sedikit yang terpelihara. Lasem kini hanya menyisakan sedikit cerita tentang kejayaannya di masa lalu. Rumah-rumah kuno dibiarkan kosong tak terpelihara. Pengusaha industri batik juga mulai kesulitan mencari penerus usahanya. Anak-anak lebih memilih ke kota besar dan bekerja di sana. Namun Lasem tidak menjadi mati. Masih tersisa anak-anak muda yang tergerak mempertahankan dan menjaga keragaman kekayaan budaya di sana. Salam Kratonpedia.

06.jpg

Memajang foto leluhur di ruang utama

05.jpg

Bentuk papan nama yang sudah menunjukkan betapa tua usianya

07.jpg

Lantai terakota di rumah peranakan Tionghoa

09.jpg

Pos jaga di depan pondok pesantren. Kebersamaan dalam keragaman.

08.jpg

Hanya sedikit penghuni yang masih tinggal di rumah tua Cina

11.jpg

Batik Lasem dengan keunikan corak dan warna

12.jpg

Kesibukan petani garam di pantai utara

14.jpg

Keindahan pantai Bonang Binangun di sore hari

15.jpg

Sempatkan mampir di warung kopi tradisional Nasir mencicipi kopi lokal khas Lasem

(Teks dan Foto: Aan Prihandaya/Kratonpedia)


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos