Terdengarlah disana
Sayup sampai tertiup bahana
Gamelan gending irama
Suara seni yang merayu-rayu
Meresap dan mendalam di hati
Menawan sanubari
Teks di atas merupakan penggalan reff lagu keroncong ‘Solo di malam hari’ ciptaan R Maladi. R Maladi adalah seniman sekaligus pahlawan bidang olahraga kelahiran Matesih daerah lereng gunung Lawu Karanganyar Solo tahun 1912. R Maladi yang pernah menjabat sebagai menteri olah raga pada tahun 1962, yang juga tentara dengan pangkat Mayor ini adalah pemain sepak bola dengan posisi sebagai penjaga gawang di masa mudanya. Dan sekarang namanya diabadikan untuk nama sebuah stadion di Solo yang dulu bernama stadion Sriwedari.
Tak ubahnya seperti lirik lagu yang diciptakan R Maladi, suatu hari di malam Minggu pada 30 Juni 2012, Solo di malam hari tampak ramai ‘tumplek bleg’ oleh masyarakat yang datang ke jalan Slamet Riyadi. Malam itu sebuah gelaran pawai tahunan Solo Batik Carnival akan melewati jalan utama pusat kota Solo tersebut. Meski masyarakat yang datang harus rela menunggu hingga lebih dari dua jam, malam itu jalanan berubah bak pasar tumpah. Hanya saja, gambaran sunyi malam tak lagi membawa bunyi gamelan gending irama, melainkan nada-nada ringtone seluler yang bersaing dengan suara para pengasong aneka barang dagangan.
Foto seni membatik tahun 1912 kampung Laweyan di Museum Samanhoedi
Teringat kembali pada masa perjuangan para juragan batik di kampung Laweyan, setelah melewati masa dimana batik hanya digunakan oleh kalangan dalam Kraton dan sebagai kain yang digunakan Raja dan kerabatnya pada abad ke-16 di Kraton Pajang, kampung Laweyan yang merupakan tanah kelahiran R.M. Sutowijoyo leluhur Raja-Raja Mataram ini terus merancang kreasi batik lewat motif-motif yang merakyat. Pada masa Kraton Kasunanan Surakarta, kampung Laweyan adalah daerah perdikan, atau daerah otonom. Dan berkembang menjadi kawasan perdagangan yang mempunyai Bandar Kabanaran yang sekarang berdiri Masjid Laweyan dan pasar batik di masa itu.
Batik sejak dulu merupakan bentuk kegiatan seni yang terus berproses sesuai perkembangan kreatifitas yang dipengaruhi oleh percampuran budaya dari jaman ke jaman. Sejak diciptakan dengan media dasar tulis menggunakan kain mori, sutra ataupun wool yang semua disebut bahan putihan tersebut, seni batik akan terus dikembangkan oleh tiap generasi dengan terjemahan nilai dan kegunaan yang berbeda-beda. Pewarnaan alami dengan bahan dari tanaman indigofera atau pohon nila untuk warna biru dan hitam, atau warna coklat dari kulit pohon jambal tidaklah mungkin dilakukan oleh generasi yang hidupnya semakin praktis.
Sabar menunggu dimulainya pawai yang mundur dari jadwal
Jam sudah menunjuk angka 21:20, tiba-tiba terdengar suara sirine mobil patwal polisi yang berusaha membuka kerumunan orang-orang yang sudah menunggu sejak sore untuk melihat pawai batik secara gratis. Solo Batik Carnival yang rencananya dimulai jam 19:00 dengan arak-arakan yang dimulai dari stadion R Maladi Sriwedari tersebut akhirnya seperti biasa molor hingga lebih dari dua jam. Budaya ‘nrimo’ (menerima) bagi kebanyakan kalangan masyarakat Indonesia ini memberikan berkah tersendiri bagi para pedagang bakso, bakpao, minuman asongan, angkringan, mainan anak, hingga warung-warung tenda pinggir jalan di kota Solo.
Saling menonton antara penonton dan berbagi rejeki untuk para pedagang di lintasan pawai
Secara keseluruhan, acara ini berhasil membuat senang banyak orang. Setidaknya kegiatan pawai batik yang digelar disaat masa liburan sekolah kali ini memberikan banyak hiburan untuk masyarakat Solo dan orang-orang yang sedang berwisata di kota batik ini. Dengan penjelmaan karya seni batik yang dirancang dan diperagakan oleh kaum muda di jalanan, dan banyak ditonton oleh kebanyakan dari generasi mereka serta anak-anak, batik akan terus menjadi kebanggaan, meskipun jaman akan melahirkan pembaruan atas hasil kreasinya. Semoga proses penjelmaan atau pembaruan tidak lari terlalu jauh dari akar budaya aslinya, dan setuju ataupun tidak, toh proses metamorfosis akan terus berjalan seiring dengan pergantian dari generasi sebelum ke generasi berikutnya. Selamat menjelajah di wisata budaya berikutnya, dan semoga banyak pawai yang akan lahir dengan kemasan yang lebih baik dan lebih kreatif di tahun-tahun akan datang. Salam Kratonpedia.
Tumplek bleg layaknya pasar tumpah di tengah jalan Slamet Riyadi Solo
Bakso tidak pernah absen dari keramaian jalanan
Penjual tempura keliling sudah mangkal sejak sore di jalur pawai
Ceker ayam dan telur puyuh khas angkringan Solo jajanan sepanjang jalan jalur pawai
Sukhoi terbang diatas kerumunan penonton yang menunggu dimulainya pawai
Pawai dimulai, dan ajang foto-fotopun dimulai sebagai hiburan yang meriah
Tak ada jarak antara penonton dan peserta pawai
Foto bareng menjadi oleh-oleh yang digemari penonton pawai
Solo Batik Carnival sebagai alternatif hiburan warga kota dan wisatawan
Batik tampil lebih glamor
Kreatifitas membawa malam bak masuk ke negeri dongeng
Gerobak angkringan tetap menjadi tongkrongan favorit di tengah keramaian
(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)