Jelajah Dunia Purba di Taman Nasional Komodo

Foto oleh : Arum T. Dayuputri
Pin It

Komodo01_1.jpg

Sinar mentari pagi yang hangat menemani seekor komodo berjemur di puncak bukit di Pulau Rinca. Tanpa menggubris kedatangan saya, kadal raksasa itu seakan terpaku menikmati pemandangan hamparan laut biru yang berpadu dengan gugusan sabana menguning. Sepoi angin yang berhembus membuai saya larut dalam kekaguman. Saya masih tak percaya dapat melihat satwa purba ini dari jarak dekat, langsung di habitat aslinya. 

Pulau Rinca termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman nasional seluas 1.817 kilometer persegi yang berada di antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores di Kepulauan Sunda Kecil tersebut merupakan habitat bagi satwa purba endemik Indonesia, Komodo Dragon (Varanus komodonensis). Pada akhir 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi pulau itu. Sekalipun sudah lama berlalu, tetapi kesannya masih terekam hingga sekarang. 

Keadaan alam yang kering dan gersang menjadikan pulau itu daerah yang unik. Adanya padang sabana yang luas, sumber air yang terbatas dan suhu yang panas, ternyata merupakan habitat yang disenangi oleh komodo. Sejauh mata memandang terlihat lapangan terbuka dengan beberapa pohon lontar yang menjulang ke langit dilatarbelakangi rangkaian pegunungan.

Taman Nasional Komodo (TNK) didirikan pada tahun 1980. Pada tahun 1986, barulah Unesco menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai warisan alam dunia dan cagar biosfer. Saat ini TNK memiliki populasi 2.500 ekor komodo. Binatang purba itu tersebar di tiga pulau di sana, yakni 1.300 ekor di Pulau komodo, 1.100 ekor di Pulau Rinca, dan sisanya di Pulau Gilimotang.

Komodo06_1.jpg   Papan taman nasional komodo

Pulau Rinca
Berdasarkan pengalaman saya, komodo lebih banyak djumpai di Pulau Rinca atau juga dikenal dengan Loh Buaya. Pulau ini lebih dekat dijangkau dari Labuan Bajo, hanya membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit saja. Kedatangan wisatawan di gerbang Loh Buaya biasanya disambut ratusan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang bertengger di pohon bakau. Untuk melihat komodo di Pulau Rinca, kita tidak perlu bersusah payah mengelilingi pulau yang 70 persen bagiannya berupa padang sabana ini. Baru saja melangkah sekitar tiga ratus meter dari gerbang, seekor komodo tiba-tiba melintas seakan hendak mengucapkan selamat datang. Para wisatawan, termasuk saya, langsung sigap mengeluarkan kamera untuk mengabadikan reptil raksasa ini.

Sesampainya di Pos Rinca, mata disuguhi deretan kerangka kepala kerbau, rusa, kuda, dan babi hutan yang pernah dimangsa komodo. Semuanya dipasang rapi. Pemandu dari Balai Konservasi Taman Nasional Komodo yang biasa disebut ranger pun menyambut ramah dan kemudian mengajak saya memulai petualangan melihat komodo dari dekat. Ranger yang memandu perjalanan dilengkapi dengan senjata utama berupa tongkat kayu bercabang sepanjang 2,5 meter. Tongkat yang berfungsi untuk perlindungan diri tersebut berguna untuk menahan leher atau hidung komodo ketika menyerang.

Perjalanan dibuka dengan suguhan delapan ekor komodo yang berteduh di bawah kolong dapur, tempat biasa ranger memasak. Komodo sangat sensitif terhadap bau darah dan bangkai. Tak heran jika komodo ini berkumpul karena mengendus aroma ikan dan daging di sekitar dapur. Dengan mengandalkan indera penciuman pada lidahnya, komodo dapat mencium bangkai mangsanya hingga sejauh 10 kilometer. Gigitannya mengandung racun dan bakteri yang mematikan, ditambah cakar depannya yang tajam merupakan senjata alaminya. Selain itu komodo mampu berlari 20 kilometer per jam dalam jarak yang pendek, memanjat pohon, berenang, bahkan menyelam.

Masih sangat pagi, namun sinar matahari sudah begitu menyengat. Dua puluh menit perjalanan menuju hutan, seekor komodo dengan panjang sekitar 2 meter terlihat berjalan menyusuri sungai kecil. Pemandu memberi kode pada saya untuk berhenti dan mengabadikannya. Momen itu amat langka dan berharga, saya tentu tak menyia-nyiakannya.

komodo03_1.jpg   Sepasang komodo sedang berjemur

Pulau Komodo
Untuk menuju pulau ini, kami memerlukan waktu tempuh yang lebih lama dibandingkan dengan Pulau Rinca. Namun, lamanya perjalanan itu tak sia-sia karena wisatawan bakal dibuat berdecak kagum dengan hamparan pantai yang luas dan bersih. Di sanalah perjalanan kami selanjutnya. Saat menuju ke arah bukit sulfur, saya mendapati komodo besar yang sedang berjemur di tepi pantai. Jika membayangkan gigitannya yang ganas dan cengkeraman cakarnya yang kuat tentu mengerikan. Tetapi siang itu sang komodo berjemur begitu tenangnya. Saya pun membatin, antara was-was dan takjub. Di sepanjang perjalanan, beberapa rusa (Cervus timorensis) yang sedang bersembunyi di balik pepohonan malu-malu mengintip kedatangan kami. Vegetasi di kanan dan kiri jalan setapak yang kami lalui cukup rimbun, didominasi pohon asam yang berbuah lebat, juga pohon gebang dan semak belukar. Terdengar burung kakatua jambul kuning, tekukur, dan burung kicauan lain. Sedangkan di balik semak-semak, beberapa burung gosong mencari makan.

Sesampai di puncak sebuah bukit, bukit sulfur, barulah sebagian besar bentang alam Pulau Komodo bisa dinikmati. Kali ini kami mendapati pemandangan yang sedikit berbeda, karena seluruh bentang alam ini berwarna hijau. Tidak seperti biasanya yang gersang dengan dominasi warna alang-alang kuning. Di kedua pulau besar di TNK itu, yakni Pulau Rinca maupun Pulau Komodo, ora bisa ditemui sejak dari pinggir pantai sampai ke puncak gunung tertingi di Gunung Ora (667 m dpi) di Pulau Rinca dan Gunung Satalibo (735 m dpi) di Pulau Komodo. Hanya saja reptil ini sukar ditemui saat musim kawin. Sang jantan sibuk mengejar betina dan membuat daerah kekuasaan sendiri di tengah belantara.

Komodo04_1.jpg   Wisatawan memotret komodo di habitat aslinya

Berkat keberadaan Taman Nasional, wisatawan kini bisa melihat dari dekat kehidupan komodo yang kerap disebut ora dalam bahasa Manggarai ini. Dengan panjang tubuh 2-3 meter, komodo bisa berbobot 70-100 kilogram. Reptil raksasa ini mengalami musim kawin sekali dalam setahun, yakni pada Juli sampai Agustus. Pada musim ini, komodo jantan akan bertempur memperebutkan betina.

Nama TNK semakin ramai diperbincangkan setelah tahun lalu menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang masuk dalam finalis tujuh keajaiban dunia baru. Keberadaan komodo di pulau itu sebagai satu-satunya satwa peninggalan zaman purba di dunia memang jadi magnet utama. Namun, penetapan Pulau Komodo sebagai finalis tujuh keajaiban dunia juga dengan mempertimbangkan fakta bahwa pulau eksotis ini menjadi rumah bagi ratusan biota bawah laut.

TNK sedikitnya memiliki 18 spot diving dan snorkling terbaik yang tersebar dari Pulau Komodo hingga Pulau Rinca. Berbagai jenis terumbu karang, ikan hiu, penyu hijau dan ratusan jenis ikan kecil dapat ditemukan disini. Satu spot menarik lainnya ialah Pink Beach yang terkenal dengan pasir berwarna merah mudanya (pink). Pantai ini banyak dikunjungi wisatawan karena memiliki spot diving dan snorkling yang menarik. Wisatawan yang snorkling biasanya berkesempatan bercengkerama
dengan ikan pari. Mata juga dimanjakan dengan beberapa spesies terumbu karang. Pink Beach lokasinya tidak jauh dari Pulau Komodo karena memang masih berada di pulau yang sama. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menuju Pink Beach.

Sinar matahari yang menyengat selama seharian penuh perlahan sirna. Tak terasa hari sudah beranjak sore. Petualangan saya mengunjungi satwa purba pun berakhir. Dua bocah yang bermain perahu kayu dengan latar belakang senja yang berkilau keemasan menjadi penutup perjalanan saya. Rasa capek dan letih pun hilang dalam sekejap, bersiap untuk petualangan berikutnya.

Komodo09_1.jpg   Nelayan mencari ikan di kawasan Taman Nasional Komodo

Komodo07_1.jpg   Anak-anak bermain perahu saat senja menjelang di Labuan Bajo 

Transportasi : Dari Jakarta tersedia pesawat setiap hari ke Denpasar, Bali, selama lebih kurang 90 menit. Dari Denpasar menuju Labuan Bajo, ibu kota kabupaten Manggarai Barat menggunakan pesawat yang lebih kecil selama lebih kurang 60 menit, hanya tersedia pagi hari. Dari Labuan Bajo, perjalanan menuju pulau Rinca atau pulau Komodo hanya bisa ditempuh melalui jalur laut dengan kapal atau perahu
nelayan. Transportasi yang satu ini banyak disewakan warga setempat di Pelabuhan Labuan Bajo dengan harga kisaran Rp 800.000 hingga Rp 3 juta per hari tergantung jenis kapal dan berapa lama sewa.Kepandaian bernegosiasi dibutuhkan.

Akomodasi: Di Labuhan Bajo tersedia penginapan ala backpackers sampai hotel bintang empat. Bisa juga menginap di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, di mess Taman Nasional Suvenir: Kerajinan kayu berbentuk komodo merupakan suvenir khas komodo yang diproduksi masyarakat kampung Komodo.Mutiara biasanya banyak ditawarkan pedagang cendera mata di Taman Nasional. Kaos, topi, pin
dan stiker dapat dibeli di Pos Taman Nasional.Tenun ikat dapat dicari di Labuan Bajo.

Tips : Membawa krim tabir surya dan pakaian yang nyaman,sepatu trekking, kacamata hitam juga topi atau penutup kepala. Perjalanan lebih baik dilakukan sepagi mungkin untuk menghindari terik matahari, menggingat Pulau Komodo merupakan padang sabana yang gersang dan panas terutama saat musim kemarau.
Waktu yang tepat mengunjungi adalah bulan Maret – Juni dan Oktober –Desember.

Komodo08_1.jpg   Menjelang malam di Labuan Bajo, seorang bocah terlihat asyik dengan perahunya 

(teks dan foto : Arum Tresnaningtyas Dayuputri)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos