Masjid Tua Di Kampung Para Juragan

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

 Laweyan3_1.jpg

Menurut cerita sejarah, pada masa Kerajaan Pajang tahun 1546, seorang pemeluk Hindu bernama Ki Beluk yang tinggal di daerah Belukan kampung Laweyan yang kini dikenal dengan nama kampung batik Laweyan, tinggal dan membangun sebuah Pura Pamerajan di lokasi pinggir sungai Kabanaran. Pada masa itu Raja yang berkuasa adalah Sultan Hadiwijaya atau terkenal dengan nama Joko Tingkir. Nama Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang berarti kapas yang dipintal menjadi benang tradisional tanpa pewarna putih, seperti bahan untuk membuat kain belacu.

Dan menurut kisah yang sudah lama dikenal di daerah pengrajin batik khas Solo ini, Ki Beluk adalah sahabat Ki Ageng Henis yang merupakan orang kepercayaan Sultan Hadiwijaya sekaligus pelopor keberadaan Laweyan yang sekarang menjadi kampung batik Laweyan. Ki Beluk sering menghabiskan waktu dengan berdiskusi seputar ajaran Islam dengan Ki Ageng Henis sahabat yang sangat dipercaya olehnya.

Dalam perjalanan spiritualnya, akhirnya Ki Beluk memantapkan hati dan beralih memeluk Islam, hingga akhirnya Pura yang dia dirikan itupun diserahkan kepada masyarakat Belukan untuk dijadikan Masjid dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Dari sejak jaman Kerajaan Pajang hingga sekarang, bangunan Masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Laweyan ini sudah mengalami beberapa kali perubahan fisik tapi tidak merombak total tampilan fisik utamanya.

Masjid Laweyan sangat terkait erat dengan keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, hal itu dikarenakan sosok Ki Ageng Henis ini adalah kakek kandung dari Susuhunan Paku Buwono ke-II. Susuhunan Paku Buwono ke-II (PB II) adalah seorang Raja pada masa Kraton Kartosuro Hadiningrat yang menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah kala itu. Dan pada masa beliau di tahun 1745, Kraton dipindahkan ke lokasi baru di sebuah desa di tepi sungai Bengawan yang bernama desa Sala. Dan Kratonpun berubah nama menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat, yang mempunyai arti: Suro adalah gagah berani, Karto adalah makmur, Hadi adalah besar, dan Rat adalah negara. Jadi Surakarta Hadiningrat adalah sebuah negara besar yang gagah berani dan makmur. Dan daerah Laweyan ini sempat menjadi tempat persembunyian sementara PB II pada masa transisi perpindahan Kraton Kartosuro.

Masjid Laweyan ini dulunya menempati areal yang sangat strategis, karena pada jaman Kerajaan Pajang disaat perdagangan dipegang oleh Syahbandar bernama Sutawijaya seorang putra angkat Sultan Hadiwijaya, bahan tekstil, benang kapas tradisional dan candu menjadi komoditi yang banyak mendatangkan perputaran uang di Bandar Sungai Kabanaran. Dan lokasi Masjid ini persis berada di tepi sungai Kabanaran yang merupakan sarana untuk moda transportasi perdagangan jaman itu.  

Pada jaman dulu konon masyarakat di sekitar Masjid Laweyan ini mengenal empat golongan status sosial yaitu golongan wong saudagar, wong cilik, wong mutihan, dan wong priyayi. Wong Saudagar adalah para pedagang, wong cilik adalah masyarakat biasa, wong mutihan adalah ulama atau umat muslim dan wong priyayi adalah kalangan bangsawan kraton.

Dan pada jaman dahulu daerah laweyan ini dikenal sebagai daerah yang makmur dengan ciri bangunan rumah berpagar tembok yang megah dan rumah-rumah bagus seperti istana dengan halaman luas untuk ukuran masyarakat dikala itu. Dan hal yang menarik mengenai rancang bangunan rumah-rumah Laweyan kala itu bukan semata karena mereka adalah juragan atau  pedagang yang sukses dan kaya, melainkan bentuk pemberontakan akan status mereka yang dianggap sebagai rakyat biasa karena mereka termasuk dalam golongan pedagang. Sehingga merekapun berusaha menandingi para bangsawan dengan rancang bangun rumah mereka.

Jadi sebenarnya menurut kisah sejarah keberadaan Laweyan, daerah ini bukanlah sebagai daerah pelopor sentral pengrajin batik pada jaman dulu, melainkan daerah penghasil Lawe atau benang kapas tradisional yang berkembang menjadi daerah penghasil kain batik setelah muncul alat berupa lempengan plat tembaga untuk memproduksi batik cap. Dan jalur sungai Kabanaran menjadi pintu gerbang masuknya jalur perdagangan dan jalur berbagai budaya luar termasuk pengaruhnya terhadap perkembangan ajaran Islam di kawasan Laweyan. Hingga saat inipun yang dulunya termasuk golongan wong mutihan atau kalangan muslim kian menyemarakkan lingkungan Masjid Laweyan yang konon arsitekturnya bercorak hindu kuno dengan bentuk yang masih sederhana. Sebuah berkah dari perkampungan tradisional yang keberadaan budayanya masih membawa manfaat hingga sekarang, Masjid Laweyan dan keturunan para juragan masih terus hidup berdampingan. Salam KratonPedia.

 Laweyan4_1.jpg

Laweyan2_1.jpg

Laweyan5_1.jpg 

Laweyan11_1.jpg 

Laweyan7_1.jpg 

Laweyan10_1.jpg 

Laweyan12_1.jpg 

(teks dan foto : Wd Asmara/KratonPedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos