Belajar dari Candi, Belajar dari Peradaban dan Keluhuran Masa Lalu

Foto oleh : agusyr
Pin It

Bagi masyarakat Jawa, istilah candi dipergunakan untuk memberi istilah pada bangunan peninggalan sejarah dari jaman Hindu dan Buddha di Jawa. Istilah candi berasal dari kata ‘candika, yaitu salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Kematian. Oleh karenanya, sering muncul anggapan bahwa candi selalu berkaitan dengan kematian. Memang, berdasarkan catatan arkeologi, candi pada umumnya dibangun sebagai tempat pemakaman atau penyimpanan abu jenasah seorang raja atau tokoh tertentu. Namun tidak semua yang disebut candi merupakan tempat pemakaman. Fungsi sebagai tempat pemujaan jauh lebih menonjol dan menjadi karakteristik khas dari setiap bangunan candi.

Dari sisi kosmologi, candi-candi selalu dibangun berdasarkan kepercayaan tentang keselarasan antara jagad raya sebagai makrokosmos dengan dunia manusia sebagai mikrokosmos. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi oleh tenaga-tenaga yang bersumber dari kekuatan alam di lingkungannya. Apa yang akan terjadi, tergantung dari kemampuan manusia dalam menyiasati keselarasan hidup mereka dengan jagad raya. Pembangunan candi juga mempertimbangkan segi mitologi, astronomi serta mengacu pada kekuatan spiritual sesuai dengan fungsinya sebagai tempat pemujaan.

Sebagai sebuah bangunan, secara vertikal candi terdiri dari 3 bagian, yaitu : bagian kaki, tubuh dan atap candi. Bagian kaki yang menjadi pondasi candi umumnya berbentuk persegi. Pada satu atau beberapa sisinya, terdapat tangga yang dipergunakan untuk mencapai bagian yang lebih tinggi. Pada bagian tengah pondasi inilah terkadang dijumpai lubang yang berfungsi untuk menyimpan abu jenasah raja. Sementara diatas lubang ditempatkan patung dewa yang dianggap menjelma ke dalam tubuh sang raja.

Bagian tubuh candi umumnya berbentuk bilik dengan ukuran yang lebih kecil dari bagian kaki, sehingga masih terdapat ruang yang terbuka di sisi luarnya. Pada bagian ini seseorang bisa berjalan mengelilingi candi, yang dikenal dengan istilah ‘Pradaksina’. Bagian atas candi berupa atap yang menutup tubuh atau bilik candi. Bentuknya menyerupai gunung yang bertangga-tangga, menyerupai mahkota, lingga atau stupa. Dari sisi bentuk, candi-candi di Jawa Tengah umumnya lebih ramping dibanding candi-candi di Jawa Timur yang usianya lebih muda. Secara horizontal, lingkungan suatu candi biasanya terbagi menjadi beberapa bagian halaman, yaitu : halaman pertama di bagian pusat atau ‘jeroan’, halaman kedua di sisi luarnya yang disebut ‘tengahan’, serta halaman paling luar atau disebut ‘njaba’.

Candi-candi di Jawa Tengah umumnya terbuat dari batu andesit yang biasa terdapat di sekitar gunung berapi. Bahan-bahan lain seperti batu putih hanya dipergunakan sebagai pelengkap, semisal sebagai pagar keliling candi. Batu-batu ini disusun tanpa adonan spesi, kecuali pada bagian tertentu di sisi luar. Setelah bentuknya tersusun, barulah hiasan-hiasan dipahatkan pada permukaaannya yang rata. Gambar-gambar yang menjadi hiasan atau relief candi berasal dari kisah-kisah dalam kakawin, seperti Ramayana, Kresnayana, Kunjarakarna, dan sebagainya. Atau dalam bentuk dewa-dewa, pohon surga, bunga teratai, ornamen spiral, atau bentuk makhluk tertentu. Ragam hias pada candi-candi di Jawa Tengah, biasanya lebih naturalistis dibanding candi-candi di Jawa Timur.

Pada saat ditemukan, sebagian besar candi berada dalam kondisi rusak berat. Bebatuan yang menjadi inti bangunannya berserakan di sejumlah tempat, terkadang hingga jauh dari tempatnya semula. Bahkan sebagian dari bebatuan candi yang bernilai sejarah itu telah berubah fungsi, seperti menjadi tanggul atau pondasi rumah penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Banyak alasan yang biasanya dikemukakan untuk menjelaskan kerusakan candi-candi di masa lampau. Diantaranya adalah munculnya bencana alam yang sangat dahsyat, seperti banjir, gempa bumi atau letusan gunung berapi. Peperangan dan perebutan kekuasaan juga ditengarai menjadi penyebab kerusakan itu. Dalam setiap peperangan, pusat-pusat pemerintahan kerajaan umumnya menjadi target untuk dibumihanguskan. Candi sebagai bangunan suci pun tak luput dari pengrusakan dan penghancuran selama perang berlangsung.

Sumber: Naskah Video dokumenter ‘Mysteries of the Ancient Java – Episode 1’ (Sutradara: Agus Yuniarso, Produksi: Galeri Video Foundation, Yogyakarta, 2006).
Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos