Puri Agung Kesiman

Foto oleh : FG. Pandhuagie
Pin It

Era kerajaan di Ranah Dewata, Bali diperkirakan sudah berlangsung sejak abad IX Masehi yang diperintah oleh Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa. Di mana, Raja Udayana menikah dengan adik Raja Kediri, yaitu Teguh Dharmawangsa. Raja Udayana dikaruniai dua orang putra yakni Airlangga dan Anak Wungsu. Airlangga selanjutnya menggantikan pamannya menjadi Raja Kediri. Sedangkan adiknya, Anak Wungsu, menjadi raja di Bali menggantikan ayahnya Raja Udayana. Selanjutnya keturunan Raja Udayana-lah yang terus-menerus memerintah di Bali, sampai pada akhirnya 1343 ditaklukkan oleh ekspansi Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajahmada.

Dinasti Majapahit selajutnya mendirikan istana (pusat pemerintahan) di Samprangan (Kabupaten Gianyar sekarang) dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan. Pada awal abad XVI, Dinasti Majapahit memindahkan pusat pemerintahannya ke Gelgel. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Raja Dalem Waturenggong, Gelgel mencapai puncak kejayaan dengan dijadikannya istana sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan.

Sebagai pusat kebudayaan, istana dijadikan tempat berbagai aktifitas kesenian seperti tari, sastra, suara, pahat, dan berbagai seni lainnya. Akibat berbagai peristiwa pemberontakan, awal abad XVIII pusat pemerintahan dipindahkan dari Gelgel ke Semarapura. Pada masa itulah kerabat raja menyebar ke seluruh Bali sebagai wakil pemerintahan di daerah seperti Badung, Jembrana, Tabanan, Karangasem, Bangli, Buleleng, dan Gianyar. Kerajaan Semarapura (Klungkung) tetap sebagai pusat pemerintahan.

Pada awal berdirinya kerajaan-kerajaan dari kerabat puri seperti tersebut, seluruhnya masih menghormati kedaulatan Semarapura sebagai junjungannya. Namun karena berbagai hal, akhirnya kerajaan-kerajaan tersebut berdaulat sendiri. Salah satunya adalah kerajaan Badung yang memiliki daerah yang cukup luas, serta mempunyai hubungan perdagangan dengan daerah-daerah lain melalui pelabuhan Kuta dan Sanur. Dinasti kerajaan Badung, menurunkan raja-raja yang secara kolektif memerintah kerajaan Badung yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar dan yang terakhir Puri Agung Kesiman.

Benteng Pelestari Warisan Budaya Bali

Pada abad XIX, Puri Agung Kesiman sebagai sentra pemerintahan kerajaan Badung turut aktif dalam berbagai penataan ekonomi, politik dan kebudayaan di Bali. Bahkan dalam bidang ekonomi, Kesiman mengangkat seorang Mads Johansen Lange (Denmark), sebagai syahbandar yang turut memajukan perekonomian Bali selatan.

Puri Kesiman secara dominan memegang tampuk pemerintahan Badung cukup lama, hal tersebut dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan yang masih utuh hingga kini. Bahkan Puri Kesiman merupakan satu-satunya Puri yang selamat pada saat gempuran ekspansi tentara Belanda pada 1906. Namun setelah perang Badung melawan Belanda tersebut, berbagai tatanan dan sistem nilai keratuan yang sebelumnya berlaku di Badung mulai digerus oleh sistem pemerintahan yang ditawarkan oleh penguasa baru, pemerintah Hindia Belanda.

Perubahan-perubahan tersebut tentu saja turut mengurangi pengaruh Puri Agung Kesiman secara signifikan terhadap pemerintahan yang baru. Hingga saat ini, sangat sedikit sekali catatan mengenai tata keratuan yang pernah berlangsung di Kesiman. Namun untungnya secara fisik Bangunan Puri Agung Kesiman masih utuh hingga saat ini dan salah satu sistem tata kraton Kesiman berupa ritual Pengerebongan masih berlangsung sesuai aslinya, sehingga dari situ dimungkinkan untuk menggali lebih jauh lagi mengenai sejarah perkembangan Kesiman di masa lalu.

Dalam masa euphoria kemerdekaan dan revolusi fisik mempertahankan kedaulatan NKRI, Puri Agung Kesiman memegang peranan yang tak bisa dianggap sebelah mata di Bali, terbukti dari dijadikannya Puri Kesiman sebagai markas TKR oleh pemimpin militer Sunda Kecil, Letkol I Gusti Ngurah Rai bersama seorang tokoh dari Puri Kesiman, Anak Agung Ngurah Agung Kusuma Yudha. Hal tersebut juga dapat dibuktikan hingga saat ini, menjelang perayaan mengenang Puputan Margarana, panji-panji dan pataka Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai selalu melalui upacara serah terima di Puri Kesiman. Selain itu Puri Kesiman juga memegang peranan penting dalam serangan umum Kota Denpasar.

Dalam masa mengisi kemerdekaan di era pemerintahan Soekarno, masa pembangunan di masa Soeharto hingga masa Reformasi, Penglingsir Puri Agung Kesiman di setiap era tersebut tak pernah tinggal diam. Kadangkala turut mendukung kebijakan pemerintah yang benar-benar menyokong kesejahteraan rakyat, dan tak jarang pula harus berseberangan dengan kebijakan pemerintah, bila itu tak sesuai dengan amanat rakyat, seperti menggagalkan proses reklamasi di Pantai Padanggalak, sebuah wilayah yang disucikan oleh masyarakat Bali.

Nilai keaslian dan keunikannya sebagai sebuah warisan budaya serta penilaian bahwa situs Puri Kesiman yang terletak di Jl. Surabi 2, Denpasar Timur, Bali ini, dianggap bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan kemudian mengantarkan Puri Kesiman, sebagai Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1992 berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.06/PW.007/MKP/2010. Semua itu berangkat dari sejarah panjang yang teramat penting, serta peran dari Penglingsir Puri Agung Kesiman di setiap jamannya, selain juga berbagai peninggalan warisan budaya yang tak ternilai harganya. 

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos