Semar: Layaknya Sosok Seorang Ayah

Abednego Kurniawan Sigit
Artikel oleh : Abednego Kurniawan Sigit
Foto oleh : Abednego Kurniawan Sigit
Pin It

Saat aku masih kecil, ayahku selalu mengatakan “yang penting kamu dulu, urusan papa nanti aja”. Saat memikirkan kata-kata itu saat ini, saat aku dewasa, ingin rasanya aku menangis. Kasih yang tanpa mengharapkan balasan adalah sesuatu yang hanya bisa kita dapatkan dari orang tua. Jarang sekali papa marah hanya karena ia terlalu mengerti rentannya perasaan dan dangkalnya pengetahuan seorang anak kecil tentang dunia. Yang ia tahu, bagaimana cara membuat aku senang, itu saja. Canda gurau yang selalu ia tuturkan saat ia mengendongku setiap aku bersedih hati selalu menghantarku ke suasana kuning matahari yang berisikan kebahagiaan sejati. Saat ia lelah sehabis bekerja kembali pulang ke rumah di saat aku sedang mengerjakan pekerjaan rumah, ia selalu tertidur di lantai dengan karpet tebal merah bunga rose dengan perut buncitnya yang bulat yang selalu muncul di kehimpitan kaus kutang putihnya. Dan ia tak ragu sedetik pun untuk bangun dari mimpi indahnya hanya untuk membantuku mengerjakan PR sekolah.

Saat melihat sosok Semar, aku seperti melihat ayah. Mungkin demikian dengan anda, dengan ayah anda sendiri. Jika anda tidak asing dengan kisah Punakawan, anda pasti pernah mendengar nama Semar. Ia merupakan ayah dari ketiga karakter lainnya, Gareng, Petruk dan Bagong. Walaupun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng merupakan putra seorang pendeta yang mengalami kutukan yang dibebaskan oleh Semar. Petruk merupakan putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa. Di Jawa khususnya, kata “Punakawan” sendiri menurut kamus besar Indonesia adalah sebutan umum untuk para pengikut kesatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Para Punakawan berperan penting sebagai penasihat nonformal kesatria yang menjadi asuhan mereka.

Sosok seorang Ayah selalu dikatakan sebagai pekerja atau pencari nafkah, sehingga pada akhirnya hubungan ayah melarut dari keluarga. Walaupun banyak sosok ayah sebagai pemimpin masyarakat, tapi tak banyak dari mereka yang juga pemimpin keluarga. Tak jarang mengapa kita sering bertanya melihat anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Padahal, seorang ayah juga memiliki peran yang sangat krusial dalam mengayomi dan mengasuh keluarganya.

Dalam pewayangan, Semar adalah seorang Lurah yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, namun tidak memaksakan nasihatnya kepada anak-anaknya. Beliau lebih sering memberi pengarahan, kemudian memberikan keputusan ke tangan anak-anaknya. Hal ini salah satu hal lain yang bisa diterapkan bagi bapak dalam menjadi pemimpin dalam keluarga. Suka melawak dan memberikan kabar gembira walau kerjanya hanya sesarean (tidur-tiduran).

“Ndelok sosok Bapak” merupakan frase jawa yang dalam Bahasa Indonesia artinya melihat sosok ayah sangat bisa direfleksikan kepada karakter wayang ini. Ayah-ayah di dunia patut menganut cerminan Semar, mulai dari sampai kepribadiannya. Ki Lurah Semar, Bertubuh gemuk bulat, berambut jambul atau kuncung seperti anak kecil. Perawakan Semar dengan perut buncit sebenarnya memiliki arti yang mungkin tidak anda duga. Bulat dapat diartikan sebagai pribadi yang rendah hati. Sifat rendah hati ini membuktikan bahwa Semar merupakan sosok ayah yang luar biasa. Tangan kanan di belakang memiliki makna sosok Semar dan para Ayah semestinya menyembunyikan kelebihan dan kebaikan yang ada pada dirinya. Tangan kirinya menunjuk satu ke atas memiliki makna bahwa ia menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ayah kita semua pasti memiliki kepribadian masing-masing yang berbeda-beda. Sosok Semar lantas terkesan terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Tapi setidaknya yang dipatut untuk dicontoh bagi kalangan ayah Indonesia, maupun seluruh dunia, adalah sifat-sifat Semar yang rendah hati, murah hati, bijaksana dan pastinya… “pinter ngelawak”.

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos