“Kelembutan Wanita adalah Senjata dalam Mengalahkan Kerasnya Laki-laki.”

Agatha Aurelia
Artikel oleh : Agatha Aurelia
Foto oleh : Agatha Aurelia
Pin It

Satu dari beberapa hal yang disepakati setiap orang memiliki kesamaan adalah mereka terlahir dari rahim seorang Ibu. Wanita dan pria, sama-sama dilahirkan dari seorang wanita. Sayapun percaya bahwa mereka terlahir dengan hak yang sama - yaitu hidup bebas dalam memilih. Hak yang seharusnya terus diperjuangkan agar terus dijaga keberlangsungannya. Hak, tentu berbeda dengan kewajiban. Dan inilah yang menurut saya membedakan antara wanita dan pria. Baik dalam suatu konteks, pria dikatakan kuat, dan wanita lemah, atau di konteks yang berbeda mengatakan kekuatan wanita ada di kelemahlembutannya, itu tidak mengartikan bahwa wanita dan pria ada di ‘tingkat’ yang berbeda, melainkan perbedaan dapat dilihat dari peran serta fungsi dari masing-masing pria ataupun wanita. 


Sejak dahulu, selalu ditemukan akan adanya paradigma “wanita adalah makhluk lemah” yangmana sering disalah artikan oleh banyak orang. Feminismepun sering kali berlangsung kearah tujuan yang melenceng. Feminisme di seluruh dunia menekankan adanya persamaan antara wanita dan pria, sehingga secara tidak sadar, seiring berjalannya waktu, wanita, khususnya di Jawa, Indonesia telah hilang akan makna dari ‘wanita’ itu sendiri. Wanita sering terus menguatkan diri, dan kurang faham betul akan makna serta peran wanita di dunia ini. Dan bukan berarti menjadi wanita sepenuhnya bisa menurunkan derajat diantara lelaki, melainkan bisa menyelaraskan peran serta fungsi untuk terjalinnya hidup di dunia. 


Siapa yang menyangka bahwa banyak pemikiran matang yang telah ditanam untuk sebuah kata ‘wanita’? Dalam budaya Jawa, ada empat istilah yang merujuk kepada arti wanita/perempuan, yaitu wadon; wanita; estri; dan putri. Istilah-istilah tersebut tidak lain memiliki pemahamannya masing-masing. 'Wadon' diambil dari bahasa Jawa Kuno, Wadu yang berarti kawula atau abdi. Secara istilah diartikan bahwa perempuan dititahkan sebagai abdi laki-laki. Kata ‘wanita’ dipercaya diambil dari bahasa Jawa, ‘wani’ yang berarti berani dan ‘tata’ yang berarti teratur. Ini dapat diartikan sebagai berani (ingin) diatur, dan juga berani mengatur. Disini, kedua arti tersebut mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi untuk bisa memerankan dengan baik peran ini. Yang ketiga, kata ‘Estri’ atau ‘Estren' dari bahasa Jawa Kuno yang berarti pendorong. Ini dapat menuju ke arti dari pepatah yang mengatakan “Selalu ada wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat”. Dan yang terakhir, istilah ‘Putri’ sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata Putus tri perkawis, yang merujuk kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban perempuan (tri perkawis), baik kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri. 

Wanita_Jawa_1.jpg

Ditengah-tengah masyarakat Jawa juga erat terdengar istilah-istilah yang terrelasi dengan wanita, yaitu ‘Masak, macak, manak’. Tidak sesederhana apa yang terlihat, melainkan istilah-istilah itu mengandung arti lebih dalam, semisal dari ‘masak’ yang berarti memberikan nutrisi, kesehatan, bagi keluarga, yang mana didasarkan dari rasa kasih sayang dan kepedulian. ‘Macak’, yang mengacu kepada peningkatan estetika, dimana bukan hanya mengindahkan sekitar kondisi tempat tinggal, fisik diri, melainkan juga hati seorang wanita agar kelak terus menjadi individu yang berkualitas. Yang terakhir ‘Manak’ yang berarti melahirkan anak. Ini sudah terlihat jelas bahwa wanita memegang peranan besar dalam keberlangsungan hidup seorang anak, pengantar karunia yang Maha Kuasa.


Kondisi Indonesia yang seringkali ditemukan paham patriarki terkadang menyulitkan wanita untuk menemukan titik kekuasaannya. Sehingga, wanita jawa sering kali mengambil kekuasaan dari pengaruh yang dapat mereka berikan terutama dalam keluarga. Maka dari itu, seorang Ibu mempunyai kedudukan yang penting yakni sebagai simbol moralitas dalam keluarga. Dari itupun juga dapat menopang, melindungi, dan menjadi sumber inspirasi bagi suami dan anak-anaknya. Terdapat ciri kekuasaan yang dimiliki wanita yakni, bermain di dalam ruang kekuasaan dan penaklukan diri ke dalam. Kekuatan yang menyelinap adalah kepasifan dan ketenanangan dari seseorang. Ada juga yang mengatakan bahwa semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus, konsep halus dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur kata lembut, hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain, kalem dan tenang. Berikutnya mengenai penaklukkan diri ke dalam yaitu dimana wanita dapat memberikan pengaruh besar terhadap pria, dengan contoh seorang suami dari dalam. Hanya dengan memberikan pengertian, kenyamanan, dan damai, itu dapat berdampak positif terhadap apa yang akan laksanakan diwaktu mendatang. 


Tak lain dari kehadiran seorang wanita, wanita memiliki multi-peran, yakni peran sebagai posisi sentral, peran dalam keharmonisan dan kedekatan, dan juga sebagai konco wingking dan garwa.  Posisi sentral yangmana wanita memiliki posisi yang memberikan dampak besar terhadap sekitar, seperti contohnya sebagai Ibu, meskipun sebagaian besar wanita kerja bera dibalik layar. Kemudian, peranan wanita untuk menjamin adanya keharmonisan harus tetap ada disetiap wanita. Seperti contohnya sosok ibu yang sangat dekat dengan anak-anak, bersikap ramah, memberikan cahaya kehangatan dan hiburan untuk anak-anaknya dan menjadikannya pusat bagi kehidupan mereka. Dan yang terakhir adalah konco wingking dan garwa, dimana itu sering dipahami sebagai degradasi derajat wanita dibanding pria, tetapi dalam era modern ini, yang terlihat adalah adanya sakprayoganipun yaitu segala tingdakan dilakukan dengan melihat situasi hingga berlaknuya disesuaikan dengan keadaan. Sehingga sekarang ini dipahami orang yang dibelakang bukan berarti lebih rendah, dengan contoh yaitu sutradara yang berada di belakang layar yang dapat memimpin dan memberikan jalan agar produksinya bisa terjadi. 


Menilik kepada apa yang telah ditimbun sejak awal peradaban, kita dapat tersadarkan lagi bahwa apapun yang datang yang telah memasukki budaya Indonesia, alangkah baiknya apabila kita paham betul akan apa yang mendasar, bukan semata-mata hanya mengikuti alur. Kan tetapi harus dapat dapat berfikir lebih kritis akan hal yang terjadi. Keberadaan wanita didunia ini tidaklah  berfungsi sama dengan pria, melainkan memiliki perbedaan fungsi tetapi pada akhirnya juga memberikan keselarasan sosial yang harmonis, yang berlaku adil bagi sesama gender. Dan mengetahui posisi, kewajiban, serta peran, kiranya pun wanita dapat melaksanakan yang terbaik tanpa harus mengurangi posisi hanya dengan menjadi wanita sepenuhnya.
 
Sources:
Sukri, Sri Suhandjati dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta,   cet. I, 2004. 


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos