Malin Kundang: Perempuan Dalam Adat

Tatiana Arianne Raisa
Artikel oleh : Tatiana Arianne Raisa
Foto oleh : Tatiana Arianne Raisa
Pin It

Cerita rakyat merupakan cerminan dari kepercayaan dan budaya yang dianut oleh rakyatnya. Kali ini, cerita klasik Malin Kundang asal Sumatera Barat menjadi acuan untuk mengenal budaya matrilineal di Indonesia dan bagaimana mereka melihat perempuan.

 

Malin Kundang merupakan salah satu cerita yang pasti sudah di dengar oleh masyarakat Indonesia. Pada dasarnya cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan kurang mampu yang telah membesarkan anak lelakinya yang cerdas, Malin Kundang seorang diri.  Pada suatu hari, Malin Kundang meminta izin untuk pergi merantau dan berjanji untuk kembali ketika telah menjadi pedagang yang kaya raya. Sang ibu tak kuasa menahan anaknya dan hanya dapat berharap Malin Kundang segera kembali. Setelah bertahun-tahun Malin Kundang akhirnya kembali ke kampung halaman dengan segala kekayaannya dan istrinya yang cantik. Ibu Malin Kundang dengan bahagia memeluk anaknya yang sekarang berpakaian mewah namun hanya ditolak secara kasar. Malin Kudang tidak sudi menganggap perempuan lusuh itu sebagai ibunya di depan istrinya. Sang perempuan tua yang terluka itu pun mengutuk Malin Kundang menjadi batu dan tak lama kemudian datang badai disertai petir yang menghantam kapal Malin Kundang dan mengubah tubuhnya menjadi keras seperti layaknya batu.

 

Dengan pesan moral yang sederhana, yakni untuk selalu menyayangi dan menghormati orangtua, cerita Malin Kundang menjadi pilihan utama untuk dongeng anak-anak. Tak hanya sekedar faktor pendorong cerita, kasih sayang ibu Malin Kundang ini merupakan cerminan budaya matrilineal suku Minangkabau. Matrilineal sendiri merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai hak waris dan yang berkuasa di keluarga. Adat matrilineal ini adalah suatu keunikan tersendiri karena masyarakat Indonesia dan bahkan dunia menganut sistem patrilineal dimana alur keturunan dinyatakan dari pihak lelaki. Dalam budaya Minang, seorang perempuan derajatnya sangat dihargai, sehingga tempat tinggal mereka yang bernama rumah gadang pun dimiliki perempuan dan diturunkan oleh ibu ke anak perempuannya. Kedudukan mereka yang istimewa membuat perempuan memiliki julukan Bundo Kanduang atau Bunda Kandung yang secara makna adalah pemimpin perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari.

 

Perspektif masyarakat Minang terhadap perempuan terlihat jelas dari karakterisasi sang ibu. Meskipun ia memiliki berbagai kesulitan seperti harus membesarkan anak seorang diri dan harus menunggu anaknya pulang, ia tidak pernah digambarkan sebagai perempuan lemah; ia tetap tabah dan kuat. Maka dari itu, tidaklah aneh jika di cerita ini ibu Malin Kundang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengutuk anaknya sendiri. Malin Kundang telah melakukan kesalahan besar di mata masyarakat Minang karena ia telah melupakan asal usulnya dan tidak mengakui seorang perempuan yang sudah membesarkannya, seorang perempuan yang semestinya memiliki derajat yang istimewa. Perbuatan durhaka ini pun dianggap hanya mampu dibayarkan oleh jatuhnya Malin Kundang sebagai batu. Konon batu-batu yang ada di pantai Air Manis, Padang, merupakan sisa-sisa kapal dan batu yang berbentuk manusia adalah Malin Kundang yang dijaga oleh warga setempat untuk mengingatkan agar selalu menghormati orang tua, terutama seorang ibu. 

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos