Cinema Inclusive: Anak-anak muda yang memperkenalkan kembali film klasik Indonesia

Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Artikel oleh : Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Foto oleh : Doc. Cinema Inclusive
Pin It

Sebagai orang awam, kadang ketika kita ingin melihat secara visual, gambaran suasana suatu zaman, hal yang paling mudah adalah dengan cara menonton film. Seperti contohnya melalui film “The Godfather” karya Francis Ford Copolla, kita dapat melihat gambaran suasana kota New York pada tahun 40-an dimana Mafia-mafia imigran dari Italia memegang kendali atas kota New York, adapula setting kota New York pada tahun 1800an yang dikemas secara realistic melalui film “Gangs Of New York” karya Martin Scorsese yang ceritanya mengangkat issue-issue rasial serta menceritakan kembali kekejaman “New York City Draft Riots” dimana kejadian itu adalah kerusuhan pemberontakan warga sipil dan perang rasial terbesar dalam sejarah Amerika, terlepas dari fakto perang sipil itu sendiri. Melalui film seakan-akan kita menjadi orang yang paham betul dengan kondisi yang terjadi pada saat itu karena kita melihat gambarannya. Lalu bagaimanakah gambaran suasana Indonesia dari film-film yang diproduksinya pada zaman dahulu? Atas dasar itulah Cinema Inclusive lahir.

 

Cinema Inclusive percaya bahwa film adalah refleksi suatu zaman serta mengungkap identitas bangsa. Komunitas ini dianggotakan oleh anak-anak muda rata-rata adalah mahasiswa dari Jakarta yang sangat passionate terhadap budaya, khususnya film-film Indonesia. Harapan mereka adalah Cinema Inclusive dapat memberikan akses bagi siapa saja khususnya anak muda untuk menonton kembali film-film Indonesia, kemudian cita-cita mereka yang ingin mereka capai adalah mendigitalisasi film-film lama Indonesia yang mereka temukan dari format konvensional (Roll Film) menjadi format digital (DVD,Blu-Ray,MPEG) hal tersebut mereka sampaikan adalah bentuk penyelamatan, karena roll film jika perawatannya tidak baik akan cepat rusak dibandingkan format digital.

 

Hana Alhaddad Vice President Cinema Inclusive menyampaikan bahwa semangat orang Indonesia untuk menonton film Indonesia melemah terutama bagi mereka yang berada dikelas menengah keatas. “Nonton film Indonesia tuh kayak suatu hal yang memalukan, kalo kata almarhum Denny Sakrie bagaikan aib yang gak kepalang karena film Indonesia dinilai kampungan lah, mudah ditebak ceritanya lah, norak dan lain sebagainya yaa bagaimana film Indonesia bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri kalau penontonnya masih nonton film-film asing saja?.” Namun Hana menambahkan bahwa itu adalah sebuah Habit yang dipertahankan dan orang indonesianya sendiri yang tidak mau tau tentang film-film Indonesia berkualitas, mengapa kita harus malu menonton film karya anak bangsa sendiri? Dengan demikian disitulah Cinema Inclusive harus berkerja menurut Hana. Hana menyampaikan lagi bahwa Cinema Inclusive harus dapat memperkenalkan kepada public khususnya anak muda bahwa banyak sekali film-film Indonesia berkualitas terutama film-film klasiknya dan film itu merefleksi budaya bangsa pada zamannya film itu diproduksi. Komunitas ini juga sadar bahwa ada pentingnya bagi anak-anak muda Indonesia untuk mencari tahu tentang eksistensi budaya bangsanya pada zaman dulu. 

unnamed.jpg 

 

Hingga kemudian Cinema Inclusive mengadakan acara perdananya sekaligus merayakan hari jadi pertama mereka yaitu acara “Tonton, Diskusi, Bicarakan!” pada bulan November 2014 lalu. Acara itu merupakan bentuk aksi yang nyata terhadap apresiasi dan pelestarian film. Acara tersebut mengandung 3 instrumen inti. Pertama adalah “Tonton” yaitu pemutaran film, film yang diputar adalah film klasik Indonesia yang sangat jarang diakses oleh khalayak masyarakat karena tidak ada informasi tentang akses film tersebut film yang saat itu di putar adalah film “Badai Pasti Berlalu (Tahun 1977)” karya sutradara Teguh Karya film tersebut dipilih karena “Romansanya tahun 70-an banget dan cocok buat ngegambarin suasana tahun 70an, terus plot cerita, dan acting pemerannya bagus, serta musiknya epic!” Menurut Hana. Kemudian yang kedua adalah “Diskusi” instrument ini adalah dimana peserta acara berkesempatan untuk terlibat dalam diskusi interaktif bersama praktisi-praktisi film, pembicara yang hadir pada waktu itu ada Slamet Rahardjo selaku pemeran di Film Badai Pasti Berlalu, Roy Marten yang juga menjadi pemeran utama di film itu, adapula Eros Djarot selaku penata music soundtrack Badai Pasti Berlalu yang sering disebut sebagai album terbaik sepanjang masa, kemudian yang terakhir ada moderator diskusi yaitu Almarhum Denny Sakrie yang merupakan kritikus film dan music. Instrument terakhir adalah “Bicarakan” disinilah para peserta diharapkan dapat menceritakan pengalamannya kepada public tentang partisipasi mereka dan informasi yang mereka dapatkan dari acara tersebut sehingga kemudian dapat tersebar dan public akan mulai mengakses.

 IMG_8746.JPG

Acara tersebut hadir untuk membangkitkan semangat kepada masyarakat untuk kembali menonton film-film Indonesia berkualitas dan pada saat itu acara tersebut sukses dan peserta sangat antusias. Saat ini Cinema Inclusive masih aktif mengadakan diskusi internal serta hunting film-film lama Indonesia, kampanye mereka melalui media social sempat terhambat karena kesibukkan kuliah masing-masing dari anggotanya namun kampanye mereka serta diskusi-diskusi dikalangan teman-teman kampus masih berjalan sampai sekarang. Hana menyampaikan bahwa dalam waktu dekat Cinema Inclusive akan kembali mengadakan acara. “Kita lagi ngumpulin ide-ide baru buat next event kita, mungkin nanti gak cuma satu film doang yang diputer, mungkin bakal ada beberapa film dan yang pasti pembicaranya juga bakal lebih banyak, ditambah gimmick-gimmick baru kaya band dan bazzar biar gak ngebosenin”.

 photo.JPG

Semangat Cinema Inclusive sangat menginspirasi dimana mereka ingin mengungkapkan refleksi identitas budaya melalui film. Aksi yang mereka lakukan ini sebetulnya sangat tepat, hal ini sudah disampaikan oleh Pak Harmoko menterei penerangan rezim Pak Soeharto yang pada saat itu mengungkapkan bahwa film adalah tontonan sekaligus tuntunan. Dengan demikian film adalah tuntunan kita atas gambaran sejarah. Untuk menutup tulisan ini saya akan mengutip apa yang disampaikan almarhum Denny Sakrie dalam tulisannya, “Film adalah sumber mata air dalam sisi hiburan, perenungan, introspeksi, motivasi, sekaligus inspirasi, Film adalah sebuah perekam zaman dan perekat ingatan yang timeless yang bisa ditonton kapan saja, dimana saja, dan oleh generasi yang tak mengalaminya sama sekali, sesungguhnya tidak ada alasan mematikan film dalam kondisi apapun!” Hidup perfiman Indonesia!

Instagram & Twitter: @CinemaInclusive 

e-mail: CinemaInclusive@gmail.com


(Menjelang Hari Film Nasional tanggal 30 Maret)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos