Tiga Ledhek Tayub
Tayub adalah kesenian tari rakyat yang tumbuh berkembang di masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah Istimewa Yogyakarta. Konon bentuk sajian tarian ini sudah ada sejak abad ke XI pada masa Kerajaan Kadiri di Jawa Timur. Tayub hadir sebagai versi modifikasi tarian-tarian kraton yang bersifat halus dan rapi, hadir sebagai tari pergaulan, tari rakyat dengan tampilan gerakan yang lebih lincah dan enerjik. Sebagai bentuk kesenian yang tumbuh dikalangan rakyat, penyelenggaraan tayub tidak jauh dari ritus kehidupan masyarakat desa yang erat dengan budaya agraris. Tayub hadir diperayaan-perayaan bersih desa, merti dusun, slametan, syukuran panen dan acara-cara hajatan pribadi lainnya.
Persiapan sebelum pentas
Tayub pernah mengalami masa-masa suram yang sampai saat ini citra buruk tersebut belum berhasil sepenuhnya dihilangkan. Tercatat dalam buku History of Java yang ditulis oleh Raffles di abad ke 19, pada waktu itu kesenian Tayub banyak ditampilkan dengan mengedepankan sisi-sisi erotis para ledheknya. Tradisi "suwelan", yaitu memberikan uang saweran dengan "nyuwelke" atau memasukkan uang ke dalam kemben si penari menjadi kebiasaan umum. Ada juga sebuah tradisi yang menggangap bahwa sebuah kebanggaan tersendiri jika berhasil mendapatkan ciuman dari si penari. Hal tersebut bertambah parah dengan hadirnya minuman keras dalam setiap pementasannya. Tak jarang para pengibing menjadi lepas kendali sehingga memicu keributan. Pada sekitar tahun 1965 sampai 1970an, di beberapa daerah, Tayub sempat dilarang atau dipersulit ijin pementasannya. Tayub sebagai sebuah kesenian rakyat yang selalu mampu menarik massa dalam jumlah banyak, dikhawatirkan digunakan sebagai alat politik dari partai terlarang PKI untuk menyebarkan paham komunisme. Di masa ini banyak kelompok kesenian tayub yang mati karena dilarang pentas. Hal tersebut membawa perubahan besar bagi tampilan kesenian tayub, mengkikis besar-besaran muatan erotisme didalamnya. Waktu itu pementasan Tayub hanya boleh digelar dengan pengawasan ketat oleh aparat keamanan. Sejak saat itu pula, peran Pengarih atau Pramugari Tayub sebagai pemimpin rombongan kesenian tayub menjadi sangat penting. Para pengarih harus mampu mengatur pengibing agar menari dengan sopan, menjaga martabat dan sopan santun para penari, serta memastikan tidak ada keributan selama berjalannya pementasan.
Minta doa dan restu pada sesepuh desa sebelum Tayub dimulai
Seiring berjalannya waktu dan makin tingginya kesadaran masyarakat dalam melestarikan kebudayaan dengan menjaga nilai-nilai luhurnya, Kesenian Tayub sekarang ini tampil dengan sajian yang sopan, jauh dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. Tayub tari pergaulan dikalangan rakyat hadir sesuai maknanya yaitu "Mataya kanthi Guyub" yang artinya menari bersama-sama dengan rukun. Kehadiran kesenian tayub disetiap hajatan desa mampu menyatukan semua warga desa untuk kumpul bersama, bersenang-senang bersama, saling bertemu dan bersilaturahmi. Para ledhek tayub kini menempati posisi terhormat dikalangan penduduk desa, menjadi idola yang membawa lambang-lambang kesempurnaan seorang wanita. Lambang kecantikan yang identik dengan kesuburan, yang selalu lekat dengan budaya agraris masyarakat di pedesaan. Salam Kratonpedia.
Gamelan mulai dimainkan
Para Ledhek Tayub mulai menari
Pramugari Tayub mengatur giliran menari
Ketiban sampur berarti wajib menari
Tua muda semua ikut menari
Asyik menari
Sosok jelita seorang Ledhek Tayub
(teks dan foto: Stefanus Ajie/Kratonpedia)