Tayub, Mataya Kanthi Guyub

Foto oleh : Stefanus Ajie
Pin It

Merias_Diri.jpg 

Tiga orang gadis berparas ayu menari di tengah sebuah pendapa kecil, di pojok desa. Tabuhan gamelan yang terdiri dari racikan bonang, saron, kendang, gambang dan gong, berpadu apik menghadirkan musik nan rancak, menemani alunan suara Sinden atau Waranggono yang melantunkan langgam-langgam dengan suara merdunya. Tiga orang pria maju ke tengah arena pertunjukan dan mulai menari berpasang-pasangan dengan ketiga penari wanita tersebut. Para penari pria sering disebut dengan pengibing dan penari-penari wanita itu disebut tledek atau ledhek. Ledhek adalah bintang dari pergelaran tari tayub tersebut. Para ledhek menari meliukan tubuhnya, menggerakkan kepala, kaki, tangan dan pinggul mereka seirama tabuhan gamelan. "Kenes" atau bentuk kegenitan yang halus adalah aura yang harus dipancarkan oleh para ledhek melalui gerakan tari, senyuman dan pandangan mata mereka. Mereka menari selaras dengan gerakan tari para pengibing sampai satu langgam selesai dimainkan, untuk kemudian berganti pasangan dengan pengibing selanjutnya. 

3_Ledhek_Tayub.jpg   
Tiga Ledhek Tayub 

Tayub adalah kesenian tari rakyat yang tumbuh berkembang di masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah Istimewa Yogyakarta. Konon bentuk sajian tarian ini sudah ada sejak abad ke XI pada masa Kerajaan Kadiri di Jawa Timur. Tayub hadir sebagai versi modifikasi tarian-tarian kraton yang bersifat halus dan rapi, hadir sebagai tari pergaulan, tari rakyat dengan tampilan gerakan yang lebih lincah dan enerjik. Sebagai bentuk kesenian yang tumbuh dikalangan rakyat, penyelenggaraan tayub tidak jauh dari ritus kehidupan masyarakat desa yang erat dengan budaya agraris. Tayub hadir diperayaan-perayaan bersih desa, merti dusun, slametan, syukuran panen dan acara-cara hajatan pribadi lainnya.

Persiapan_Sebelum_Pentas.jpg   
Persiapan sebelum pentas

Tayub pernah mengalami masa-masa suram yang sampai saat ini citra buruk tersebut belum berhasil sepenuhnya dihilangkan. Tercatat dalam buku History of Java yang ditulis oleh Raffles di abad ke 19, pada waktu itu kesenian Tayub banyak ditampilkan dengan mengedepankan sisi-sisi erotis para ledheknya. Tradisi "suwelan", yaitu memberikan uang saweran dengan "nyuwelke" atau memasukkan uang ke dalam kemben si penari menjadi kebiasaan umum. Ada juga sebuah tradisi yang menggangap bahwa sebuah kebanggaan tersendiri jika berhasil mendapatkan ciuman dari si penari. Hal tersebut bertambah parah dengan hadirnya minuman keras dalam setiap pementasannya. Tak jarang para pengibing menjadi lepas kendali sehingga memicu keributan. Pada sekitar tahun 1965 sampai 1970an, di beberapa daerah, Tayub sempat dilarang atau dipersulit ijin pementasannya. Tayub sebagai sebuah kesenian rakyat yang selalu mampu menarik massa dalam jumlah banyak, dikhawatirkan digunakan sebagai alat politik dari partai terlarang PKI untuk menyebarkan paham komunisme. Di masa ini banyak kelompok kesenian tayub yang mati karena dilarang pentas. Hal tersebut membawa perubahan besar bagi tampilan kesenian tayub, mengkikis besar-besaran muatan erotisme didalamnya. Waktu itu pementasan Tayub hanya boleh digelar dengan pengawasan ketat oleh aparat keamanan. Sejak saat itu pula, peran Pengarih atau Pramugari Tayub sebagai pemimpin rombongan kesenian tayub menjadi sangat penting. Para pengarih harus mampu mengatur pengibing agar menari dengan sopan, menjaga martabat dan sopan santun para penari, serta memastikan tidak ada keributan selama berjalannya pementasan.

Minta_Doa_dan_Restu_pada_Sesepuh_Desa_Sebelum_Tayub_Dimulai.jpg    
Minta doa dan restu pada sesepuh desa sebelum Tayub dimulai 

Seiring berjalannya waktu dan makin tingginya kesadaran masyarakat dalam melestarikan kebudayaan dengan menjaga nilai-nilai luhurnya, Kesenian Tayub sekarang ini tampil dengan sajian yang sopan, jauh dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. Tayub tari pergaulan dikalangan rakyat hadir sesuai maknanya yaitu "Mataya kanthi Guyub" yang artinya menari bersama-sama dengan rukun. Kehadiran kesenian tayub disetiap hajatan desa mampu menyatukan semua warga desa untuk kumpul bersama, bersenang-senang bersama, saling bertemu dan bersilaturahmi. Para ledhek tayub kini menempati posisi terhormat dikalangan penduduk desa, menjadi idola yang membawa lambang-lambang kesempurnaan seorang wanita. Lambang kecantikan yang identik dengan kesuburan, yang selalu lekat dengan budaya agraris masyarakat di pedesaan. Salam Kratonpedia.

Gamelan_Mulai_Dimainkan.jpg   
Gamelan mulai dimainkan 

Para_Ledhek_Tayub_Mulai_Menari.jpg    
Para Ledhek Tayub mulai menari 

Pramugari_Tayub_Mengatur_Giliran_Menari.jpg    
Pramugari Tayub mengatur giliran menari 

Ketiban_Sampur_Berarti_Wajib_Menari.jpg    
Ketiban sampur berarti wajib menari 

Tua_Muda_Semua_Ikut_Menari.jpg   
Tua muda semua ikut menari 

Asyik_Menari.jpg    
Asyik menari 

Sosok_Jelita_Seorang_Ledhek_Tayub.jpg    
Sosok jelita seorang Ledhek Tayub 

(teks dan foto: Stefanus Ajie/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos