Asap dedupaan mengepul menyebarkan semerbak wangi dari altar Klenteng Tien Kok Sie, sebuah klentheng tua yang terletak persis di sebelah Pasar Gede Solo. Altar penuh dengan sesaji berupa aneka buah dan makanan, tertata rapi di antara patung-patung para Dewa, lilin serta hiasan-hiasan khas dalam nuansa warna merah menyala. Hari itu satu minggu menjelang Hari Raya Imlek. Puluhan umat Khong Hu Cu memadati Klenteng Tien Kok Sie untuk mengambil berkat dari air suci, lambang kesucian hati sebagai persiapan menyambut Hai Raya Imlek. Umat satu persatu membasuh kepala mereka dengan air suci dalam iringan alunan doa-doa pujian yang tak henti-hentinya dilantunkan oleh para Biksu. Setelah prosesi selesai, keramaian beralih ke halaman depan Klenteng Tien Kok Sie dimana rombongan liong dan barongsai mulai berdatangan. Genderang mulai ditabuh bersautan dengan genjring dan kenong menciptakan irama tetabuhan yang ritmis nan meriah. Satu persatu liong dan barongsai menghadap ke altar klenteng untuk melakukan hormat dan mendapat berkat dari para tetua, sebelum mereka melakukan aksinya di hari itu.
Aksi liong
Menjelang siang, ratusan orang makin memadati jalanan disekitar Pasar Gede Solo. Sebuah hari yang meriah, hari dimana akan digelar Kirab Grebeg Sudiro yang sudah menjadi agenda rutin Kota Solo dalam menyambut Hari Raya Imlek. Walaupun Grebeg Sudiro digelar dalam rangka menyambut Hari Raya Imlek, kemeriahan perayaan ini tidak hanya disambut oleh warga Tionghoa semata, semua masyarakat dari berbagai golongan suku dan etnis, tumpah ruah menjadi satu memadati jalanan untuk ikut dalam kemeriahan festival tahunan ini. Tradisi grebeg sendiri merupakan tradisi jawa yang biasa dilakukan oleh Kraton untuk memperingati hari-hari besar. Grebeg merupakan prosesi mengkirabkan gunungan yang berisi hasil bumi, melakukan doa bersama lalu mempersilahkan masyarakat untuk memperebutkan isi gunungan sebagai simbol perjuangan dalam mendapatkan berkah dari Tuhan dan alam semesta. Dalam acara Grebeg Sudiro, gunungan utama tidak berisikan hasil bumi seperti biasanya, melainkan berisi susunan kue keranjang, kue khas yang selalu hadir disetiap perayaan imlek. Dinamai sebagai Grebeg Sudiro karena memang acara tersebut diprakarsai oleh warga Kampung Sudiroprajan, sebuah kawasan di Kota Solo yang banyak ditinggali oleh warga tionghoa sejak dahulu kala. Dua bangunan bersejarah yaitu Klenteng Tien Kok Sie dan Pasar Gede juga terletak di wilayah Sudiroprajan dan keduanya menjadi bagian sejarah yang tak terpisahkan dari dinamika masyarakat Sudiroprajan yang hidup dalam keberagaman etnis.
Kesenian Rodat
Di sekitar Pasar Gede dan Klenteng Tien Kok Sie, ribuan warga Solo dan wisatawan dari berbagai daerah memadati jalanan seakan tak terusik oleh panasnya mentari di siang itu. Suara tabuhan rancak pengiring barongsai berganti sejenak dengan suara gamelan dari kelompok Karawitan dari Paguyuban Pedagang Pasar Gede. Gending dan lagu terus diperdengarkan untuk menemani persiapan para peserta kirab yang sudah mulai berdatangan memadati Jl. Urip Sumoharjo yang terletak di sebelah utara Pasar Gede. Satu persatu kelompok peserta kirab mulai berbaris disepanjang jalan. Kira-kira jam 14.00 WIB kirab mulai berjalan ditengah kerumunan ribuan warga yang sejak dari pagi sudah memadati area tersebut. Rombongan gunungan kue keranjang, Liong Barongsai dan Prajurit Kraton Kasunanan Surakarta menempati rombongan terdepan. Disusul selanjutnya oleh kelompok seni budaya dari berbagai daerah di Indonesia seperti, kelompok kesenian Baleganjur Bali, Jathilan dan Topeng Ireng dari Boyolali, Kesenian Rodat dari Magelang, Hudoq dari Suku Dayak Kalimantan, kelompok pakaian adat dari tanah Minang, Lampung dan Betawi , tampil pula parade pakaian tradisional Tionghoa dan kostum para dewa-dewa. Salah satu penampil yang paling mendapat perhatian adalah rombongan yang memerankan tokoh-tokoh dalam epos "Perjalanan ke Barat yang terdiri dari Si Kera Sakti Sun Go Kong, Wu Ching, Cu Pat Kai serta Biksu Suci Tang Zhang lengkap dengan tunggangan kuda putihnya. Sebagai puncak acara Kirab Grebeg Sudiro, para penonton dan masyarakat umum dipersilahkan untuk berebut isi dari gunungan kue keranjang. Ribuan orang berdesakan saling berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian dari gunungan. Kemeriahan tumpah di jalanan, penuh dengan wajah-wajah riang, canda dan tawa mereka yang sudah mendapatkan kue keranjang. Suka cita semakin membahana ketika dipuncak acara tersebut, hujan lebat turun menyelimuti Kota Solo. Bagi warga Tionghoa khususnya, hujan yang turun ketika sedang berlangsung perayaan menyambut Imlek, dipercaya sebagai pertanda baik bagi kemakmuran dan kebahagiaan di tahun mendatang.
Kelompok Jathilan dari Selo-Boyolali
Kirab Grebeg Sudiro bukan hanya menjadi simbol persatuan dan kerukunanan antara etnis Jawa dan Tionghoa di Kampung Sudiroprajan semata. Acara ini sudah menjelma sebagai sebuah simbol yang bisa bercerita kepada masyarakat umum tentang keindahan warna-warni keberagaman di Indonesia. Keberagamanan suku, etnis, budaya, bahasa, agama bukan alasan untuk terpecah, namun bisa tetap bersatu dalam keharmonisan hidup yang lebih indah. Kerukunan yang menciptakan Kemakmuran, itulah simbol dari Grebeg Sudiro, yang disuarakan dari sebuah Kampung di Kota Solo untuk menginsiprasi sampai keseluruh pelosok negeri. Salam Kratonpedia.
Kesenian Baleganjur-Bali
Putri-putri Minang meramaikan Kirab Grebeg Sudiro
Sun Go Kong dan kawan-kawannya
Ratusan orang memadati jalanan untuk mendapat Kue Kranjang yang dibagikan panitia
Rebutan Gunungan Kue Keranjang
Hujan lebat, pertanda berkah dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa
(teks dan foto: Stefanus Ajie/Kratonpedia)