Awig-Awig, Benteng Pertahanan Desa Tenganan

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Desa_adat_Tenganan_Bali_1.jpg

Pulau Bali selalu menjanjikan sebuah eksotika akan keindahan melalui kekuatan budayanya. Selain keindahan alam dan seni tari, nilai-nilai tradisi-pun bisa menarik perhatian para pelaku wisata. Pernah mendengar istilah desa purba?. Suatu kali dalam penjelajahan di pulau yang banyak menyumbangkan devisa untuk Negara dari sektor pariwisata ini, seorang petugas hotel tempat saya menginap di kota Denpasar menanyakan, “Pernah ke Tenganan?”. “Belum.” saya jawab apa adanya. “Mumpung sekarang masih ada, datang saja ke sana, itu desa purba yang masih ada di Bali.” 

Masih terngiang di telinga saya kalimat petugas hotel tempat saya menginap tadi, “Mumpung masih ada……”, mungkin itu hanya bentuk kekhawatiran atas kemajuan Bali yang sungguh pesat baik secara fisik maupun non fisik atas persaingan industri pariwisata yang tumbuh menggurita di pulau kecil tersebut. Setelah membuka peta Bali, akhirnya saya memulai perjalanan menuju desa Tenganan yang terletak di kabupaten Karangasem, dari pusat kota Denpasar jaraknya kurang lebih sekitar 60 Km, dan ditempuh dalam waktu 1,5 jam kalau lalu lintas lancar. Perjalanan cukup menyenangkan karena jalur yang dilintasi merupakan jalanan pesisir pantai yang indah, antara lain melintasi jalan raya Goa Lawah, jalan raya Padang Bai dan kawasan pantai Candidasa, baru kemudian belok ke kiri sekitar 6 Km memasuki jalanan kecil menuju desa Tenganan. Desa ini masuk wilayah administratif Kecamatan Manggis. Nama desa Tenganan ini memiliki arti tengah, karena letak geografisnya berada di tengah-tengah lembah lereng gunung Agung, dan dikelilingi tiga bukit kecil yaitu bukit Kangin, bukit Kaja dan bukit Kauh.

Gerbang_desa_Tenganan.jpg   Suasana desa Tenganan yang tenang dan damai 

Ternyata lokasi desa ini memang terpencil, seolah berada jauh dari hiruk pikuk pasar modern dan kebisingan padatnya lalu-lintas kota Denpasar yang sudah sering macet. Bak berada di pulau pengasingan yang sunyi dan jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan. Desa yang tenang dan damai ini berlokasi tidak jauh dari pusat Kerajaan Karangasem yang kesohor di jaman Raja-Raja Bali tempo dulu, yang sekarang dikenal dengan nama kota Amlapura. Dan ternyata memang perkembangan modernisasi desa ini termasuk “dilambatkan”, karena masyarakat asli desa Tenganan ini sangat kuat memegang teguh peraturan adat yang sudah diwarisi selama 900 tahun hingga sekarang.

Laki_laki_desa_Tenganan_dengan_kebiasaan_nginang.jpgSeorang warga desa Tenganan dengan kebiasaan nginang menggunakan tembakau  

Peraturan adat secara tertulis atau juga disebut kitab peraturan adat tersebut juga dikenal oleh masyarakat desa dengan nama Awig-awig. Peraturan adat menjadikan pola hidup yang masih tradisional dan  sederhana bisa terus dipertahankan hingga kini. Salah satu bentuk aturan adat yang masih kuat dipegang tersebut adalah pola perkawinan yang hanya dilakukan antar sesama warga desa adat, kecuali kalau memang ada warga yang keluar dari desa tersebut dan mendapatkan jodoh dari masyarakat diluar desa adat, berarti pelanggaran tersebut sudah sepadan dengan konsekwensi bahwa mereka tidak akan bisa tinggal di dalam lingkungan desa adat Tenganan. Selain hidup sebagai petani tegalan yang juga menyewakan lahan untuk berladang, sebagian besar masyarakat desa ini juga sejak jaman dulu mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan tangan, seperti kain tenun tradisional, kerajinan ata atau sejenis rumput yang dibuat menjadi aneka hiasan dan perabot rumah, lukis daun lontar, lukisan dengan media kulit telur dan batok kelapa, serta topeng dan ukiran dari kayu.

Kain_ikat_Tenganan_dengan_pewarna_alami.jpg    Kain tenun Tenganan dengan pewarna alami 

Pemandangan desa Tenganan didominasi pepohonan hijau yang tidak terlalu tinggi, dengan batu-batu kali yang berwarna hitam cenderung kusam banyak digunakan sebagai pondasi dan pagar, juga sebagai pengeras jalan yang tampak seperti sebuah situs candi-candi Hindu. Di desa ini sebagian besar lahannya digunakan untuk tanah tegalan dan masih terdapat wilayah hutan. Dulu masih banyak masyarakat yang menanam kapas di tanah tegalannya, dan digunakan untuk bahan membuat kain tenun dengan proses pewarnaan yang alami. Selain itu, cara bertani di desa ini sangat organik, jadi tidak pernah menggunakan segala jenis pupuk kimia untuk mengolah lahan tegalannya. Banyak tradisi yang dipertahankan merupakan bagian dari awig-awig yang sangat dipegang teguh masyarakat desa Tenganan. Termasuk keberadaan kerbau-kerbau liar yang dibiarkan berada di tengah perkampungan dan bebas berkeliaran ke manapun di lingkungan desa tersebut. Karena kerbau-kerbau tersebut sudah berada di desa Tenganan jauh sejak jaman leluhur masyarakat desa ada.

Pengrajin_lukis_daun_lontar_membuka_meja_meja_untuk_jual_karya.jpg    Pengrajin lukis daun lontar membuka lapak meja-meja untuk menjual karya 

Setiap satu tahun sekali di desa Tenganan ini diadakan upacara Sambah atau Usaba Sambah, yakni ritual orang tua melepas masa anak-anak memasuki masa remaja yang diisi dengan petuah-petuah. Dan dalam upacara ini dilakukan tradisi perang pandan,  selain itu juga dilakukan pemotongan kerbau liar yang ada di desa tersebut sebagai bagian dari upacara perayaan. Biasanya upacara ini jatuh pada bulan Juni atau Juli, dan masih banyak lagi upacara adat yang dilaksanakan masyarakat desa tersebut dalam setiap tahunnya.

Lukisan_dengan_media_telur_yang_menarik_perhatian.jpg    Lukisan dengan media cangkang telur yang menarik perhatian 

Masyarakat desa Tenganan adalah masyarakat Bali asli yang juga disebut sebagai Bali aga. Mereka adalah keturunan asli Bali yang sudah lebih dulu tinggal sebelum masuknya orang-orang Majapahit dari wilayah timur pulau Jawa. Awig-awig juga mempertahankan bentuk rumah-rumah warga yang tidak boleh dirubah dari sejak leluhur mereka dulu hingga sekarang. Keunikan lain adalah masih ada bangunan khas yang asli dan warna material kayunyapun sudah kusam karena usia bangunan, yaitu Bale Agung yang bentuknya memanjang kira-kira berukuran 50 m x 3 m dengan tinggi bangunan panggung 1 m dari permukaan tanah. Fungsi utama dari Bale Agung ini adalah untuk pertemuan warga desa. Kemudian ada Bale Banjar yang berfungsi sebagai Bale yang suci untuk acara sakral tapi bukan untuk upacara kematian. Kemudian Bale Kenca yang digunakan untuk pelaksanaan hal-hal yang berkaitan dengan sumpah dalam tata cara adat. Yang terakhir adalah Bale Patemon, digunakan untuk pertemuan pemuda desa adat. Dari semua bangunan Bale tersebut semua mempunyai bentuk yang mirip, hanya ukurannya yang berbeda, dan kesamaan lainnya adalah panggung yang mendasari bangunan dibuat dari tumpukan batu yang direkatkan dengan tanah liat.

Batok_kelapa_tak_lepas_dari_goresan_karya_lukis.jpg   Batok kelapa tak lepas dari goresan karya lukis 

Setelah berkeliling desa dengan ditemani salah satu warga Tenganan, rasanya masih banyak hal yang menarik dari desa ini yang belum sempat diceritakan. Awig-awig atau kitab peraturan adat di desa ini sungguh masih kuat melekat dalam diri masyarakat Bali Aga. Tapi setidaknya perjalanan ke desa Tenganan ini bisa sedikit memberikan jawaban akan kekhawatiran seorang pegawai hotel di kota Denpasar tempat saya menginap. Selama Awig-awig dijalankan dengan baik, rasanya “desa purba” itu akan terus menjadi tempat tinggal yang damai bagi masyarakat Bali Aga. Akhirnya sayapun keluar dari gerbang desa, dan kembali menyusuri jalan kecil Nyuh Tebel menuju jalan raya Candidasa untuk kembali ke hotel di tengah kota Denpasar. Suatu saat saya akan kembali ke desa ini dan berharap desa ini akan masih sama seperti saat ketika saya datang untuk pertama kali. Salam Kratonpedia.

Kerbau_liar_yang_bebas_hidup_berdampingan_dengan_warga_desa.jpg    Kerbau liar yang bebas hidup berdampingan dengan warga desa

Kios_barang_barang_kerajinan_berjejer_di_jalan_masuk_desa.jpg   Kios-kios kerajinan ata berjejer di gerbang pintu masuk desa 

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos