Tidak Ada Kata Terlambat

Foto oleh : Stefanus Ajie
Pin It

Sudut_Sudut_Bangunan_Kraton_yang_Memerlukan_Perawatan_dan_Restorasi.jpg

Kalau kita memutar jarum jam sejarah, menunjuk tahun 1745, adalah waktu yang penuh dengan kegiatan dan kerja keras.  Saat nenek moyang kita mulai mendirikan bangunan Kraton, yang sekarang kita lihat sangat megah dan mengagumkan itu. Kala itu, kiranya bisa kita bayangkan bahwa para leluhur bukanlah dalam keadaan yang serba makmur atau serba berlebih. Kita katakan demikian karena kenyataanya mereka baru saja menyelesaikan perang saudara, Perang Garendi.

Pagi siang dan malam bekerja keras untuk membangun keraton, demi anak cucu dan turunannya. Tidak hanya bersifat fisik tetapi juga menggunakan laku spiritual. Sekali lagi saya katakan tujuannya hanya satu, yaitu agar mereka mampu mewariskan kepada turunannya tentang sesuatu yang berharga. Demikian terus menerus beratus-ratus tahun, generasi satu ke generasi berikutnya, selalu mempunyai tujuan yang luhur, yaitu memberikan warisan yang bernilai pada kita semua.

Dalam catatan sejarah Mataram yang panjang, dalam usaha agar dapat memberikan warisan pada anak turunnya itu, mereka tidak hanya mengorbankan tetesan keringat, tetapi juga darah dan air mata, sanak dan keluarganya. Dalam kurun ratusan tahun itu pula banyak cerita sedih dan memilukan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik di dalam tembok maupun di luar tembok. Semuanya telah terjadi dan diiklaskan demi memberikan kehidupan yang layak bagi anak turunnya, kita semua.

Namun, kini kita sebagai pewaris, budaya yang adi luhung, adat istiadat, dan bangunan yang sangat megah itu tidak mempunyai rasa malu, pada para leluhur. Sedikitpun kita tidak mempunyai rasa bangga mendapatkan warisan itu (kalaupun mengatakan bangga  rupanya hanya sedalam mulut). Kiranya tidak ada rasa untuk tetap menjaga kelestariannya. Bahkan cenderung mengabaikan dan atau  menghinakan. Banyak saudara kita yang dengan sengaja menabrakan budaya dengan agama mengorbankan budaya.

Membiarkan tembok tidak terurus, lantai tidak terurus, kebun terbengkalai, dan banyak ornamen lainnya terabaikan perawatannya merupakan sikap yang menggambarkan bahwa kita sebagai pewaris yang lalai dan mengabaikan warisan leluhur. Keadaan demikian tidak hanya pada tataran fisik yang kasat mata, tetapi juga  merembet pada budaya, yang tidak kasat mata.

Lahirnya SOLO TOURISM  CARE, merupakan spirit baru yang muncul sebagai jawaban mundurnya kepedulian pada warisan sejarah budaya dari kita semua. Kendati hanya kecil dan sederhana kegiatannya  diharapkan mampu menjadi benteng runtuhnya kepedulian masyarakat pada warisan leluhurnya. kita sadari tetesan keringat ini tentunya tidak sebanding dengan jerih payah dari para pendirinya, namun diharapkan seperti lampu  senthir (lampu minyak tanah) di malam hari, yang mampu menerangi lingkungannya. Syukur mampu memberikan inspirasi dan awereness pada semua  lapisan masyarakat.

Seorang_Abdi_Dalem_membersihkan_Lonceng_di_Lawang_Gapit_Utara__Pintu_Gerbang_Kraton_Kasunanan_Surakarta.jpg   Abdi dalem membersihkan lonceng di lawang gapit utara Kraton Kasunanan Surakarta 

House_Keeping_Dari_Hotel_hotel_Berbintang__bekerjasama_membersihkan_area_Pagelaran_Kraton.jpg   House Keeping dari hotel-hotel berbintang, bekerjasama membersihkan area pagelaran kraton 

Meriam_Kuno_di_Sitihinggil_Kraton_dibersihkan_dari_perdu_dan_rumput_liar.jpg   Meriam kuno di Sitihinggil kraton dibersihkan dari perdu dan rumput liar

Pak_Suharto__Ketua_ASITA_Solo_ikut_terjun_langsung_dalam_Solo_Tourisme_Care.jpg       Pembersihan rumput liar di halaman dalam kraton Kasunanan Surakarta

Anak_anak_kecil_pun_juga_ikut_Kerja_Bakti.jpg   Anak-anak kecil pun juga ikut bergotong royong

Ikutan_Kerja_Bakti.jpg     Bermain sambil belajar untuk peduli 

(Teks : Suharto/Ketua Umum ASITA Solo, foto : Stefanus Ajie)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos