Panggung Hiburan Adalah Sekolahku

Foto oleh : Aan Prihandaya
Pin It

01.jpg

(Dok. Istimewa)

Namaku Sutedjo. Lahir di Purworejo 18 Agustus 1960. Setiap kali ditanya kampung halaman, aku kesulitan menjawab karena masa kecilku selalu berpindah-pindah. Bahkan di Purworejo pun, aku hanya sekedar numpang lahir. Ini terjadi karena kedua orang tuaku, kakek nenekku adalah anggota rombongan kesenian tradisional yang selalu berpindah dari satu kota ke kota yang lain, melakukan pementasan wayang orang atau ketoprak.

Diturunkan oleh bapak ibuku, darah seni melekat kuat dalam diriku. Sejak masih di dalam kandungan aku sudah diajak ibuku pentas di atas panggung. Kemudian, semasa kecil aku dilibatkan dalam pementasan, meski sebagai figuran entah sebagai Gatotkaca kecil, kethek (monyet)  atau figur apapun yang bisa diperankan oleh anak-anak.

Duniaku memang dunia panggung, selalu berpindah dari kota ke kota, kampung ke kampung. Aku mengikuti rombongan menjelajah hingga Madiun, Ponorogo, Jogja, Magelang, Semarang dan berbagai kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada kalanya pementasan dilakukan di gedung kesenian yang bersifat permanen, namun sering juga dilakukan di bangunan non permanen berdinding gedeg di pasar malam yang lazim disebut tobong. Pola hidup yang berpindah-pindah ini tentu saja berpengaruh pada hidupku.

03.jpg

Di panggung, aku belajar banyak tentang kehidupan.

Sebagai pemain tobong yang penghasilannya tidak menentu membuat orang tuaku kesulitan membiayai aku belajar di sekolah formal. Dengan susah payah mereka berupaya agar aku bisa sekolah. Dengan selalu hidup berpindah-pindah, tentu saja proses belajarku tidak bisa berjalan normal. Aku lupa, tapi setidaknya saat SD aku belajar di lebih dari lima tempat yang berbeda di kota yang berbeda.

Namun bagiku, sekolahanku yang sebenarnya adalah dunia panggung. Di situlah aku belajar tentang kehidupan, tentang segala hal yang berhubungan dengan pementasan yang akhirnya menghidupi aku hingga sekarang ini.

Aku tidak belajar secara langsung tentang dunia hiburan kepada seseorang. Aku melihat dan dari melihat aku belajar. Dari dunia panggung aku belajar tentang dialog, belajar akrobat, gerak dan lain-lain. Aku melihat cara orang merias, tentang efek panggung, juga improvisasi kostum. Di kala senggang, aku sering keluyuran di pasar malam. Bukan untuk jajan makanan, karena aku tidak mampu membeli, namun aku melihat dan kadang menjadi asisten penjual obat. Di sana aku belajar sulap, beraktraksi agar orang-orang tertarik untuk datang. Semuanya mengalir, aku diberi kesempatan untuk mengamati dan mempelajarinya.

05.jpg

Opo Wae Iso bukan slogan yang sesumbar, namun upaya untuk tidak mengecewakan konsumen.

Sekitar tahun 1970an, rombongan kesenian yang aku ikuti mulai menetap di Jogja. Kami melakukan pementasan wayang orang secara permanen di THR, yang sekarang berubah menjadi Purawisata. Aku masih ingat, meski sudah mendapatkan panggung yang tetap, namun kehidupan ekonomi kami belum juga terangkat. Hiburan modern sudah mulai bermunculan, mengakibatkan kesenian tradisional yang kami geluti mulai ditinggalkan. Saat itu aku tinggal di kampung Dipowinatan, dalam satu rumah yang ditempati beberapa keluarga anggota rombongan kesenian, karena kami tidak mungkin mampu mengontrak rumah sendirian.

Menginjak dewasa, kebutuhan pribadiku semakin banyak. Aku mencoba mencari pekerjaan yang kuharap lebih menghasilkan. Berbagai pekerjaan di luar panggung hiburan sudah aku lakukan. Bekerja di perusahaan cleaning service, sebagai sales bahkan sebagai debt collector. Namun darah seni yang begitu kuat membawaku kembali ke dunia hiburan, hingga akhirnya aku menjadi penari di sendratari Ramayana THR Yogyakarta.

Aku menyukai dunia anak-anak, dan merasa sangat dekat dengan anak-anak. Aku merasa prihatin di setiap acara anak-anak, mereka dicekoki dengan lagu-lagu dan hiburan orang dewasa, yang jelas tidak tepat untuk usia mereka. Pada tahun 1990an, kebetulan hasil dari pentas Ramayana di THR sudah tidak bisa diandalkan lagi. Aku memutuskan untuk menjadi penghibur mandiri. Dengan berbagai kemampuan yang aku miliki, aku yakin Tuhan akan memberiku jalan. Dan akhirnya berbagai permintaan untuk menghibur selalu saja datang dari berbagai tempat. Permintaan pun bermacam-macam. Kadang aku harus menari, bermain sulap, menabuh gamelan, bahkan menjadi badut di acara ulang tahun anak-anak. Aku tidak pernah memilih tawaran pekerjaan, karena aku yakin semua itu adalah anugerah dari Tuhan. 

08.jpg

Aku menyukai dunia anak-anak, dan merasa sangat dekat dengan anak-anak. (Dok. Istimewa)

Berbagai properti pertunjukan secara perlahan aku kumpulkan. Tidak semuanya beli, karena aku tidak punya cukup uang untuk membeli. Ilmu yang aku dapatkan saat mengikuti rombongan kesenian saat kecil dulu, kini kurasakan manfaatnya. Aku mampu mengkombinasikan berbagai kostum yang aku punya menjadi atribut yang dibutuhkan, yang sejatinya aku tidak punya. Berbagai figur yang menjadi idola anak-anak aku upayakan untuk memilikinya, entah dengan cara membeli atau membuat sendiri. Semua aku butuhkan untuk memenuhi permintaan pasar, yaitu anak-anak. Hingga akhirnya nama Tedjo Badut melekat dalam diriku.

Punya nama yang cukup dikenal tidak berarti semuanya berjalan dengan lancar. Pengalaman tidak dibayar oleh penyelenggara acara adalah satu dari suka duka yang aku terima. Namun aku tetap bersyukur, karena aku mendapat upah yang tak ternilai harganya, yaitu keluarga yang mencintai dan memahami profesiku. Badut memiliki citra yang rendah di dalam dunia hiburan. Namun anak-anakku bisa menerima dan justru bangga. Akupun bangga, Tedjo sebagai badut mampu mengantarkan kedua anakku sekolah ke jenjang yang tinggi, karena hanya itu bekal yang mampu aku berikan kepada mereka. Salam Kratonpedia.

02.jpg

Menceritakan perjalanan kehidupan panggungnya.

04.jpg

Minum teh panas menggunakan cawan. Kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan.

06.jpg

Darah seni yang begitu kuat membawanya kembali ke dunia hiburan.

09.jpg

Pentas Ramayana semasa muda (Dok. Istimewa)

(Teks & Foto: Aan Prihandaya/Kratonpedia)


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos