Perayaan sekaten di Yogyakarta usai sudah, hal itu ditandai dengan dimasukkannya kembali gamelan kraton, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu ke dalam kraton Yogyakarta. Gamelan tersebut sebelumnya ditempatkan di halaman Masjid Besar selama satu pekan dan ditabuh selama berlangsungnya sekaten. Rangkaian acara berikutnya adalah upacara Grebeg yang dilaksanakan pagi harinya.
Grebeg kraton Yogyakarta adalah upacara adat sebagai simbol kekucah dalem, yakni simbol kemurahan hati raja kepada kawulanya. Raja digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, mengayemi, dan mengenyangkan kawulanya. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, yakni Grebeg Syawal sebagai bentuk ungkapan syukur telah melampaui bulan puasa, kemudian Grebeg Maulud diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha.
Upacara Grebeg identik dengan adanya Gunungan, yaitu berbagai makanan dan hasil bumi yang disusun menyerupai gunung, sebagai simbol dari kemakmuran kraton Yogyakarta yang nantinya akan dibagikan kepada rakyat. Dalam perayaan Grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula.
Gunungan merupakan makanan dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung
Gunungan Dharat adalah gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar dan di sekelilingnya ditancapi kue ketan yang berbentuk lidah. Gunungan Gepak merupakan gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan Bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar kemenyan. Gunungan Lanang terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan. Di bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras. Gunungan Wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan Pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
Satu bulan sebelum upacara Grebeg, di tempat yang bernama Magangan, abdi dalem kraton sudah mulai mengerjakan keenam gunungan tersebut. Bahan-bahan diolah dan dimasak, kemudian disusun membentuk miniatur gunung. Malam hari sebelum upacara Grebeg, Gunungan-gunungan tersebut dibawa masuk ke dalam Kraton.
Pagi harinya, upacara Grebeg dimulai dengan parade prajurit yang berangkat dari Pracimosono untuk menjemput Gunungan. Momen ini menarik untuk diikuti karena bisa melihat secara langsung prajurit kraton dengan atribut yang khas. Kraton Yogyakarta memiliki sepuluh bregada atau kesatuan prajurit, yaitu prajurit Wirobrojo, prajurit Dhaheng, prajurit Patangpuluh, prajurit Jogokaryo, prajurit Prawirotomo, prajurit Ketanggung, prajurit Mantrijero, prajurit Nyutro, prajurit Bugis dan prajurit Surokarso. Prajurit-prajurit ini dipimpin oleh seorang panglima yang disebut Manggala Yudha. Prajurit ini mengawal gunungan yang diusung dari kraton Yogyakarta menuju Masjid Besar, Kepatihan, dan Puro Pakualaman. Di sana, gunungan tersebut dibagikan kepada rakyat.
Antusiasme masyarakat terhadap upacara ini cukup besar. Terbukti, satu hari sebelum upacara, mereka sudah mulai berdatangan dalam kelompok kecil maupun besar. Tidak hanya warga Yogyakarta, namun banyak yang berasal dari luar kota seperti Magelang, Temanggung, Wonosobo dan sekitarnya. Sebagian mereka percaya bahwa pernik-pernik yang terdapat di gunungan akan memberikan berkah, sehingga mereka berharap bisa mendapatkan bagian kecil dari gunungan tersebut. Keyakinan seperti itu membuat masyarakat rela menunggu hingga dalam waktu lama untuk dapat ikut memperebutkan gunungan. Mereka rela berdesakan bahkan dengan resiko terinjak-injak atau jatuh asal berhasil memperoleh bagian dari gunungan tersebut.
Upacara Grebeg yang ditutup dengan perebutan gunungan ini bukan sekedar sebagai simbol kekucah dalem semata, namun juga sebagai bentuk meneruskan tradisi dan menjaga kekayaan budaya, namun juga sebagai aset wisata. Bagi penggemar fotografi tentu upacara ini sangat menarik sebagai target bidikan lensanya. Salam Kratonpedia.
Kerangka gunungan lanang. Tampak di atasnya adalah kue dari tepung beras
Abdi dalem sedang memasang rangkaian telur itik pada gunungan
Memasang untaian kacang panjang, cabe merah dan kue ketan
Gunungan saat menjelang diberangkatkan
Rela menanti sejak pagi
Memeluk erat sang cucu, jangan sampai terlepas dalam kerumunan
Manggala Yudha melakukan inspeksi sebelum prajurit bertugas
Bregada prajurt Ketanggung, salah satu dari 10 bregada yang bertugas mengiringi gunungan
Alat musik Kecer, semacam simbal dimainkan oleh prajurit Dhaheng
Gunungan memasuki komplek Masjid Besar
Didoakan sebelum diperebutkan
Masyarakat saling berusaha mendapatkan bagian dari gunungan
Dengan bangga menunjukkan hasil perjuangan
Memperoleh secuil kue, diharapkan dapat memberi berkah
(Teks dan foto: Aan Prihandaya/Kratonpedia)