Jalan-jalan Bersama Tata Berburu Lezatnya Durian Matesih

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

1.jpg

Matesih merupakan wilayah administrasi Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah. Kurang lebih berjarak sekitar 35 Km arah timur kota Solo dengan ketinggian sekitar 750 meter diatas permukaan laut, dan termasuk daerah yang subur serta masih banyak lahan persawahan serta perkebunan. Di wilayah Kecamatan Matesih ini terdapat lokasi yang mempunyai kisah sejarah yang terkait dengan Mangkunegaran dan juga terdapat bekas pemandian kaputren Kerajaan Mataram. Lokasi yang terkait dengan Puro Mangkunegaran adalah makam Raja di Astana Mangadeg tempat disemayamkannya Mangkunegara I sampai ke-III, kemudian terdapat juga komplek pemakanan Astana Girilayu tempat dimakamkannya Mangkunegara IV, V, VII dan VIII. Kemudian lokasi pemakaman berikutnya adalah komplek pemakaman Giribangun, tempat disemayamkannya mantan Presiden RI ke-II, Soeharto beserta istrinya, ibu Tien Soeharto.

Suatu siang saat hari diliputi mendung yang menurut acara ramalan cuaca di sebuah stasiun TV swasta diperkirakan akan turun hujan yang merata dibeberapa daerah di Indonesia, kami melakukan perjalanan untuk berburu durian di daerah Matesih kabupaten Karanganyar. Tata adalah gadis muda biasa seperti kebanyakan kaum muda generasinya, cuek, ceria dan ceplas ceplos. Saat ini Tata sedang menyelesaikan semester akhirnya di sebuah perguruan tinggi swasta jurusan bahasa Inggris. Selain punya hobi jalan-jalan, Tata ternyata juga penggemar berat raja buah alias durian, raja buah menjadi kiasan bagi Tata untuk rasa buah yang sangat kuat, baik dari aroma maupun rasanya, yang artinya setelah makan buah durian dan kemudian makan buah lain, buah tersebut pasti akan terasa hambar, begitulah alasannya. Petualangan dan jalan-jalan berburu makanan serta tempat menarik menjadi kesukaan gadis kelahiran 20 Desember tahun 1990 ini.

4.jpg Mencari informasi arah jalan merupakan kegiatan wajib disaat melakukan perburuan lokasi

Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari kota Solo, dengan melewati pemandangan pepohonan hijau dan hamparan sawah, sampailah kami di daerah Matesih yang berudara sejuk. Struktur tanah di daerah ini merupakan lahan yang subur untuk pertanian dan perkebunan, karena lokasinya berada di lereng gunung berapi yang sudah tidak aktif hingga saat ini, yaitu gunung Lawu. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah susah, jalanannya cukup bagus dan bisa dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua, dan merupakan jalur angkutan umum.

9.jpg Saat memasuki wilayah Matesih di ketinggian 750 meter dpl, hawa sejuk mulai terasa

Daya tarik yang populer untuk kebanyakan anak muda dari daerah ini adalah buah duriannya. Pada saat musim durian tiba, di sepanjang jalan kota kecil Matesih ini akan dijumpai deretan lapak para penjual durian dengan berbagai jenis dan rasa. Mulai durian petruk dengan bentuk oval atau memanjang, durian matahari yang berbentuk bulat dan berwarna kuning, durian monthong yang besar, dan tentunya durian lokal yang banyak tumbuh di pekarangan atau tanah tegalan penduduk asli kecamatan Matesih.

5.jpg Tata menanyakan keberadaan kebun durian kepada ibu-ibu petani di sebuah desa di Matesih

20.jpg Pohon durian banyak tumbuh di pekarangan penduduk desa Matesih

Pada saat kami melakukan perburuan durian di Matesih ini, buah durian sudah mendekati masa akhir dari musimnya, yang biasanya berlangsung selama tiga bulan antara bulan November hingga Januari. Namun kali ini musim durian agak sedikit lebih lama dari biasanya, meskipun bila mendekati akhir musim, harganya jadi agak sedikit mengalami kenaikan. Pada puncak musim panen durian, harga langsung dari kebun milik warga Matesih ini bisa dibeli dengan harga Rp.2500 per buahnya, dan kalau dijual di lapak pinggir jalan dijual berkisar antara Rp.5000 sampai Rp.10.000. Tapi memasuki akhir musim di awal bulan Februari ini, susah untuk mendapatkan buah langsung dari kebun petani, hanya lapak penjualan yang masih berderet di sepanjang jalan kota kecil Matesih yang rata-rata menawarkan harga terendahnya di angka Rp.10.000. Tapi untuk jenis durian lain, harganya masih relatif sama dengan yang dijual di daerah perkotaan, berkisar antara Rp.20.000 – Rp.30.000 tergantung kepandaian tawar menawarnya.

6.jpg Di perburuan pertama, mencicipi durian jenis petruk yang masih muda, rasanya mengecewakan

40_1.jpg Pilihan tidak sebanyak saat di puncak musim durian

Setelah mencoba mencicipi berbagai jenis buah durian yang dijajakan di sepanjang jalan desa, ternyata durian lokal dari kebun masyarakat setempatlah yang menjadi juara perburuan Tata kali ini. Keistimewaan dari durian lokal Matesih ini terletak pada bentuk buahnya yang kecil dengan warna hijau yang berkesan masih mentah, namun jumlah isinya sungguh istimewa, satu durian kecil ini bisa berisi sampai 23 biji dengan daging buah yang tebal serta manis rasanya. Daging buahnya ada yang berwarna putih, beberapa ada yang berwarna kuning cerah. Pohon jenis durian lokal Matesih ini banyak tumbuh di halaman rumah dan di lereng-lereng pebukitan wilayah perkebunan milik masyarakat desa.

19.jpg Pemandangan khas saat memasuki Matesih, durian-durian yang digantung menebarkan aroma wangi

22.jpg Durian lokal Matesih legitnya juara

Puas menyantap beberapa buah durian, kamipun merasa sore itu seakan mabuk durian, udara yang mulai dingin dan langit mulai diselimuti mendung tipis menambah kenikmatan saat harus menghabiskan legitnya durian Matesih satu demi satu hingga tersisa kulit dan pongge (biji durian dalam bahasa Jawa) yang menumpuk. Tak terasa tanganpun mulai lengket dan kamipun menyusuri jalanan desa untuk mencari air hingga sampai di sebuah desa bernama Mendalan masih di daerah Matesih. Pemandangan sawah berundak yang hijau menarik perhatian Tata, dan dari atas pinggiran lahan persawahan terlihat pemandangan yang menggoda. Sebuah alur sungai dengan air bening dan banyak terdapat batu-batu dengan ukuran yang beragam menjadi fokus perhatian Tata saat itu.

15.jpg Menikmati lembut daging buah durian Matesih yang manis

Akhirnya air yang dingin dan bening dari sumber air pegunungan itupun tidak hanya sekedar membasuh tangan untuk menghilangkan lengket bekas durian yang masih menempel ditangan. Tak terasa Tata mulai asyik menikmati keindahan serta kesegaran air sungai yang dangkal tersebut. Sungai Samin, begitulah nama sungai yang membelah wilayah Matesih di sepanjang kaki gunung Lawu. Lengkap sudah perjalanan berburu durian hari itu, selain kelezatan durian lokal Matesih yang ‘cakep’ rasanya, keindahan alamnyapun memanjakan dengan kesegaran air sungainya yang dingin dan jernih. Namun keasyikan bermain air tidak bisa berlangsung lama, langit semakin gelap, dan cuaca sore itu rupanya akan sesuai dengan ramalan yang kami lihat sebelumnya. Saat langit di atas Matesih semakin gelap dan butir-butir air mulai berjatuhan, kamipun bergegas untuk meninggalkan ‘desa duren’ yang mulai basah diguyur air hujan yang luar biasa derasnya. Sampai bertemu pada perburuan bersama Tata berikutnya. Salam Kratonpedia.

16.jpg Menuruni pematang sawah menuju sungai Samin

25.jpgAir sungai yang jernih dan dingin

36_1.jpg Kesegaran sungai Samin menutup perburuan Tata akan lezatnya durian Matesih

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos