Deretan lampion berwarna merah menyala menghiasi rumah yang terletak di tengah sebuah gang kecil selebar dua meter. Asap dan bebauan dupa yang khas mencirikan adanya tempat peribadatan di sana. Di depannya ada papan bersinar terang bertuliskan “Tukang Gigi Ajung” yang menarik perhatian. Nama ini cukup populer di kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Saat ditemui pada medio Februari lalu, Ajung (58) tidak sedang membuat gigi palsu. Pria berperawakan kurus yang sudah menggeluti profesi tukang gigi selama 28 tahun ini justru sibuk mengasah pedang. Dibantu dua orang anaknya, pria dengan nama asli Bong Khin Jung ini sedang mempersiapkan tandu untuk tatung dalam perayaan Cap Go Meh. Tahun ini, Ajung menampilkan sepuluh tandu yang akan digunakan anak-anak dan kerabat dekatnya.
Ajung adalah salah satu warga keturunan Tionghoa yang berpartisipasi sebagai tatung dalam acara Cap Go Meh. Tatung atau loya adalah sebutan bagi orang yang kerasukan roh para dewa dan leluhur. Ia berkekuatan magis, badannya kebal, tak berdarah ketika ditembus berbagai benda tajam seperti pedang, paku dan parang.
Di Singkawang jumlah mereka lebih dari 700 orang. Mereka akan unjuk kebolehan dengan duduk di atas pisau tajam dan muka yang ditusuk besi. Tatung menjadi pusat perhatian seluruh warga Singkawang layaknya pesohor, padahal sehari-hari mereka sebetulnya orang biasa. Ada yang menjadi buruh, nelayan, tukang gigi, dan sebagainya.
Ajung merasa dirasuki tatung sejak usia tujuh tahun. Ketika itu ia bekerja di perkebunan karet di Sagatani, Kecamatan Singkawang Timur. Roh secara tak sengaja merasuki tubuhnya. “Rasanya seperti orang sakit, demam tinggi,“ ujar pria berjenggot putih ini. Orang tuanya membawa Ajung ke dokter namun tak kunjung sembuh.
Yang menjelma masuk ke dalam tubuhnya, kata Ajung, adalah Chai Liu Nyian Shai. Nama roh ini kemudian diabadikan menjadi nama tempat ibadat di rumahnya.
Sejak saat itu, Ajung sering kali dimintai bantuan meramal ataupun menyembuhkan penyakit. Kebisaannya ini membuatnya diundang ke berbagai negara tetangga, seperti China, Hongkong, Thailand, Kamboja, Malaysia dan India. “Saya hanya orang biasa yang menjadi perantara,” tegasnya yang enggan disebut sebagai orang sakti.
Jejak Ajung ternyata menurun kepada anak-anaknya. Dari 13 anak yang dimilikinya, delapan di antaranya, yakni lima laki-laki dan tiga perempuan kini turut menjadi tatung. Bisa dikatakan mereka adalah keluarga tatung.
Kehadiran tatung menjadi bagian penting dari rangkaian perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Dalam dialek Hok Kian, Cap Go Meh berarti hari kelima belas bulan pertama pada penanggalan Imlek. Hari ini biasanya ditandai dengan bulan yang sedang bulat penuh di langit. Pada saat itu, Kota Singkawang yang mendapat julukan kota seribu vihara ini dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para dewa. Ritual ini bertujuan untuk membersihkan kota dari pengaruh jahat.
Harmonisasi budaya dan religi tercermin dalam perayaan Cap Go Meh. Acara yang menjadi kebanggaan Kota Singkawang ini menjadi magnet bagi datangnya wisatawan setiap tahunnya. Ribuan orang tumpah ruah dan terlarut dalam histeria pertunjukkan rakyat yang penuh nuansa spiritual. Begitu pula keluarga Ajung yang saat itu mendapatkan kehormatan sebagai tatung di hadapan para dewa.
Ajung (Bong Khin Jung) bersantai di rumahnya
Ajung dan cucunya sedang bersantai di rumah
Anak-anak bermain dengan tandu yang akan dipakai untuk acara cap go meh
Ajung bersama anak-anaknya
Istri Ajung mempersiapkan lilin dan dupa untuk menyambut Tatung
Ajung menyiapkan kostum
Ajung dan anak-anaknya bersiap untuk mengikuti pawai cap go meh
Anak-anak Ajung bersiap untuk mengikuti pawai cap go meh
Ajung menunggu sebelum arak-arakan tatung dimulai
Aksi Ajung dalam Cap Go Meh
Ajung digotong tandu mengelilingi kota Singkawang
Lampion menghiasi jalanan kota Singkawang yang dilewati arak-arakan.
Ajung melepas lelah di ruang keluarga setelah seharian mengikuti pawai
Foto-foto aksi Tatung pada perayaan Cap Go Meh yang dipajang di rumah Ajung
(teks dan foto : Arum T. Dayuputri/Kratonpedia)