Molog Hardjokemoen atau akrab dipanggil Mbah Molog masih menyimpan kenangan yang membuatnya bangga dan makin cinta dengan reog Ponorogo. Ketika itu tahun 1991, mbah Molog bersama rombongan seniman reog terbang ke Washington DC Amerika Serikat. Undangan pentas reog tersebut datang dari Smithsonian Institution Office Of Folklife Programs dalam rangka Festival of American Folklife. Pembarong kelahiran desa Sumoroto dekat alas Badegan atau dikenal juga dengan sebutan alas Kucur ini kembali bercerita tentang sedikit sumbangannya untuk mempertahankan tradisi lewat kesenian reog.
Bangga pernah mewakili Ponorogo pentas di Amerika
Laki-laki yang sebenarnya masih ragu akan usianya (antara 74 tahun atau 96 tahun) ini pada tahun 1978 juga menerima penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur kala itu atas perannya sebagai pembina seni tradisi reog dan pelatih tari di kabupaten Ponorogo. Dan atas keterampilannya membuat reog (barongan/dadak merak), mbah Molog juga menerima piagam penghargaan sebagai Seniman Seni Rupa Tradisional dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 1993. Dan pada tahun 1997 lahirlah ide pementasan reog di alun-alun kota Ponorogo yang digagas mbah Molog, dan hingga sekarang pertunjukan kesenian reog selalu digelar setiap bulan Suro serta disaat bulan purnama tiba.
Mbah Molog sudah menyiapkan generasi penerus
“Saya ini hanya menjalankan tradisi yang diwariskan pendahulu saya, cuma itu.” Mbah Molog mencoba menjelaskan alasan atas beberapa prestasi yang diraihnya tersebut. Beberapa kali mbah Molog harus mengelap telapak tangannya yang basah oleh keringat, dan terdiam untuk sesaat. Generasi pendahulunya, yakni mbah Joyo Sayid sudah tiada sejak 30 tahun silam. Kalau dulu dikenal istilah ngebat, yaitu gerakan meliukkan reog tanpa dipegang dengan tangan, tapi menggunakan kekuatan gigi. Keahlian khusus tersebut yang sekarang menurut mbah Molog sudah jarang dikuasai oleh pembarong. Mbarong atau membawakan reog dadak merak dolakoni mbah Molog di masa kondangnya hingga tahun 1991 dan setelah itu karirnya mulai meredup. Dan pernah suatu kali, mbah Molog mbarong tanpa gajul (pemain pengganti) selama tiga jam nonstop, dan itu merupakan tantangan terberat bagi setiap pembarong, yang biasanya hanya bisa dilakukan beberapa gelintir orang saja.
Mbah Molog dengan arsip pribadi seputar karya seni reognya yang tersisa
Memegang tradisi turun temurun termasuk ritual nglakoni (laku prihatin) dilakukan Molog Hardjokemoen sejak usia muda. Beberapa hal yang dilakukan kala melakukan masa prihatin tersebut antara lain, pasa pitung dinan (puasa tujuh hari), melekan (tidak tidur), mutih (hanya makan nasi putih dan minum air putih), ngrowot (makan umbi-umbian yang dikukus). Hal tersebut dimaksudkan untuk melatih kesabaran, mensyukuri hidup, dan pengendalian diri. Tapi mbah Molog juga menambahkan, bahwa menjadi pemain barong tidaklah mudah, selain harus kuat, bakat juga menjadi syarat utama.
Pemakaian topeng atau penthul dengan cara digigit
Selain mahir ngukel (jogetan) reog dengan barong dadak meraknya, mbah Molog juga ahli membuatnya. Dari kecil sudah diajarkan dengan cara melihat langsung proses pembuatan serta menyiapkan bahan bakunya, termasuk bagaimana cara menentukan hari yang tepat untuk memotong bambu apus. Selain bambu apus untuk ragangan reog (rangka utama), material lain yang digunakan adalah dadap cangkring (kayu hutan), penjalin (rotan), batang bulu ayam untuk kumis macan, kulit kambing atau sapi untuk membuat kepala barong, ekor sapi untuk rambut barong, serta bola kaca untuk mata barong. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bulu-bulu burung merak asli yang didatangkan dari India hasil dari budi daya. Untuk membuat satu reog dadak merak dibutuhkan waktu hingga satu bulan, dan melibatkan lima orang tenaga kerja. Namun reog buatan mbah Molog, kini dalam satu tahun hanya bisa laku paling banyak tiga saja, itupun berdasarkan pesanan. Dan apabila tidak ada pesanan, praktis aktifitas pembuatan reog seharga lima belas juta rupiah tersebut berhenti.
Bulu merak yang dijual dipasaran didatangkan dari India
Mbah Molog kembali terdiam dan mulai terlihat kelelahan, sambil minum teh tubruk yang tinggal ampasnya, mbah Molog berkata lirih, “Sekarang ini semua foto-foto lama saya dan beberapa dokumen sudah hilang,.... maksud saya, ....dulu dibawa orang-orang Amerika yang datang ke rumah.... katanya buat dokumentasi disana, ...nggak tahu saya.” Molog Hardjokemoen yang dulunya terkenal galak dan ditakuti itupun kini menghabiskan masa tua dengan ditemani istrinya di desa Jengglong Ponorogo. Hari-harinya diisi dengan aktifitas ringan dan beristirahat untuk merawat kesehatannya yang mulai menurun. Sesekali mbah Molog duduk di ruang depan rumahnya menikmati teh tubruk sambil memandangi barong buatannya yang tersisa. Meskipun keahliannya tidak menurun kepada kedua anaknya yang kini tinggal di Jakarta, kakek tiga orang cucu ini merasa sudah menyiapkan generasi penerusnya melalui keponakannya yang lebih memiliki bakat. Selalu mensyukuri hidup, seperti apa yang sudah diajarkan kepadanya sejak muda, membantunya untuk terus menyimpan semangat menjaga tradisi reog Ponorogo. Tetap semangat mbah Molog. Salam Kratonpedia.
Kumis barong terbuat dari batang bulu ayam
Sisi belakang kepala barong terbuat dari rotan, kayu, dan bambu apus untuk kerangkanya
Sempyok atau rompi yang biasa digunakan para penari Jathil
Epek, sabuk yang terbuat dari kain beludru dan dihiasi mote warna emas
Othok, sabuk yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau
Embong, kain yang dikenakan pemain barong di bagian depan celana
Slompret, musik tiup reog yang terbuat dari bambu buatan mbah Molog
Dengan gendang dan gong buatannya
Molog Hardjokemoen tokoh pembarong yang dikenal galak dengan sisa semangat mudanya
(teks dan foto: Wd Asmara/Kratonpedia)