Kisah Sang Barong - bag.1

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Angklung_dari_bambu.jpg

Laki-laki tua yang sudah tidak terlihat galak itu bernama Molog Hardjokemoen. Limapuluh tahun silam dia adalah sosok pemuda kuat yang banyak ditakuti karena ketrampilannya bermain barong atau reog dadak merak berkepala macan. Kini di usianya yang ke-74 tahun, sang penari yang juga mahir membuat reog ini sudah tidak sesehat dulu di kala muda. Pendengarannya tidak sebaik dulu, pandangan matanya terganggu oleh katarak, dan tangannya terserang tremor akibat gangguan jantung yang dialaminya.

Laki-laki kelahiran desa Sumoroto yang terletak di dekat alas (hutan) Badegan sebelah barat kota Ponorogo ini secara turun temurun menekuni kesenian reog secara total. Mulai dari menjadi barong, penthulan, nabuh gamelan, menari jathil hingga membuat beberapa peralatan gamelan dan reog dadak merak sendiri. Di Ponorogo tinggal tersisa sedikit pelaku seni reog dari generasi lama, yakni diantaranya mbah Tobron, mbah Sisok dan mbah Molog. Sementara mbah Tobron dan mbah Sisok masih tinggal di desa Sumoroto, sedangkan mbah Molog tinggal di desa Jengglong bagian sebelah utara kota Ponorogo.

Kepala_barongan_dan_mbah_Molog.jpg  Mbah Molog dan kepala barong buatannya

Mbah Molog selalu tampak antusias setiap menceritakan masa mudanya, meski sesekali diselingi tarikan napas yang agak berat. “Prajurit jathil itu aslinya dibawakan 144 orang”, mbah Molog membuka ceritanya tentang jumlah penari jathilan atau jaran kepang dalam perang di alas Lodaya. Dan cerita tentang apa yang diyakininya mengenai sejarah reog yang dibanggakannya-pun membuka kisah perjalanan hidupnya sebagai barong. Masyarakat Ponorogo biasa menyebut penari atau orang yang memainkan reog berkepala macan itu dengan sebutan barong atau mbarong. Semasa kecilnya mbah Molog juga pernah mendapatkan kisah dari bapaknya, bahwa pada jaman dulu di dalam hutan ada seekor macan yang mati, dan diatas kepala sang macan hinggap seekor burung merak dengan ekornya yang terbuka indah berwarna hijau biru bak kumpulan mata-mata tajam. Dan oleh Walisongo yang melihatnya, peristiwa itu menjadi inspirasi lahirnya kesenian reog yang ditampilkan dengan dadap merak berkepala macan.

Dadap_merak_kepala_macan.jpgDadap merak kepala macan

Singo Barong, adalah kepala singa dengan rambut seperti api dengan taring besar yang tajam. Meskipun kenyataannya kepala tersebut lebih menyerupai kepala harimau loreng atau macan. Sejarah keberadaan reog sebagai kesenian mulai muncul pada tahun 1400-an. Ketika itu tampilan dadak merak dimaksudkan untuk menyindir Raja Majapahit Bhre Kertabumi atau Brawijaya V yang lebih banyak dipengaruhi oleh sang permaisuri putri dari negeri Cina. Hal tersebut digambarkan dengan dadap merak atau singo barong, bahwa kepala macan atau singa yang menjadi simbol laki-laki itu berada dibawah burung merak yang menjadi simbol perempuan. Konon dikala itu para penari dadak merak adalah sekumpulan pendekar-pendekar bekas pasukan khusus Majapahit yang kecewa terhadap junjungannya dan berniat memberontak. Dan kesenian reog tersebut digambarkan dengan keberadaan tokoh Bujanganom laki-laki berwajah raksasa yang menakutkan dengan hidung dan rambut panjang. Namun aksi yang ternyata didalangi Ki Ageng Ketut Surya Alam seorang penguasa Kadipaten Wengker yang sebelumnya adalah pujangga dan pembesar Kraton Majapahit tersebut, akhirnya berhasil diredam para petinggi kerajaan yang sangat berpengaruh dan dialihkan menjadi sebuah perkumpulan kesenian reog. Kemudian Lembu Kenanga atau Raden Katong, putra Raja Brawijaya V diperintahkan oleh kakaknya yaitu Raden Patah untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat Wengker (Ponorogo), dan berganti nama menjadi Bathara Katong. Untuk mengalahkan Ki Ageng Ketut Surya Alam yang terkenal sakti dan sangat berpengaruh di Kadipaten Wengker, akhirnya Bathara Katong menikahi Gandhini putri Ki Ageng Ketut Surya Alam dengan tujuan membuka rahasia kelemahan ayah mertuanya tersebut. Dan Ki Ageng Ketut Surya Alam-pun berhasil dikalahkan. Sejak itulah Bathara Katong memimpin Ponorogo dan merubah versi kesenian reog yang menyindir kekuasaan ayahnya yakni Brawijaya V menjadi kisah yang diambil dari cerita Panji.

Penthulan_atau_ganongan.jpgPenthulan atau ganongan

Dan sebenarnya singo barong sendiri sudah ada sejak abad ke-VI pada masa Hindu Budha. Sejak masa tersebut singo barong terus mengalami perubahan sesuai perkembangan budaya yang dibawa masing-masing jaman kerajaan Jawa kuno kala itu. Hingga pada masa Bathara Katong, salah satu keturunan Brawijaya terakhir yang telah memeluk agama Islam ikut memberikan warna dalam kesenian reog.

Tangan_yang_menurut_mbah_Molog_tak_lagi_sanggup_melahirkan_karya_Dadak_Merak.jpgBanyak versi dalam cerita reog Ponorogo sejak mbah Molog kecil hingga kini

Dari situlah akhirnya muncul beberapa versi cerita reog, yaitu versi Kelana - Sanggalangit, versi Wijaya - Kilisuci, versi Asmara Bangun – Rahwana Raja, versi Jathasura – Kilisuci – Bujanggalelana, dan versi Kelana – Candrakirana.

Mbah Molog kembali menarik napas, dan sesekali menyeruput teh tubruk buatan Suminah, istri yang sejak dulu setia menemaninya bolak balik dari Ponorogo ke pasar klewer Solo untuk membeli perlengkapan membuat reog dan asesorisnya. Bersambung .... (Jumat 28-12-2012) 

Menikmati_teh_tubruk_kegemaran_mbah_Molog.jpg  Menikmati teh tubruk menjadi hiburan tersendiri bagi mbah Molog

(teks dan foto: Wd Asmara/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos