Bagi orang Hindu Bali, melepas anggota keluarga yang meninggal merupakan sebuah upacara penghormatan layaknya sebuah pesta, dan bukanlah momen untuk larut dalam kesedihan atau duka cita. Sebuah ritual yang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat adat Bali tersebut adalah Ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah yang juga lazim disebut kremasi, dan istilah ngaben tersebut biasa digunakan untuk golongan masyarakat umum seperti yang diatur dalam struktur sosial masyarakat adat Bali. Sedangkan dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan prosesi itu disebut dengan Pelebon. Ngaben berasal dari kata ngabuin atau ngabu yang berarti menjadikan abu, sedangkan pelebon berasal dari kata pelebuan yang mempunyai arti sama, yaitu menjadikan abu. Dalam tradisi umat Hindu Bali, upacara ini merupakan kewajiban untuk mensucikan roh dan bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam melaksanakan prosesi upacara Ngaben, sejak sebelum hari pembakaran hingga selesai, membutuhkan waktu berhari-hari untuk ritual persembahyangan dan pembuatan perlengkapan upacaranya.
Membutuhkan tenaga yang tidak sedikit dengan melibatkan kerabat dan beberapa banjar atau masyarakat desa, biaya besar dan memakan waktu yang panjang. Bagi masyarakat umum biasanya pelaksanaan ngaben tidak langsung dilakukan setelah kematian, tapi jenazah dikebumikan terlebih dulu di pemakaman desa hingga mampu melaksanakan upacara yang membutuhkan biaya tidak sedikit tersebut. Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali juga dikenal adanya LPD, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Desa yang menyimpan tabungan dalam bentuk simpanan masyarakat yang disisihkan untuk keperluan pelaksanaan upacara massal maupun pinjaman bagi keluarga yang membutuhkan untuk ritual upacara ngaben secara mandiri. Dan bagi golongan masyarakat yang mampu, ngaben bisa segera dilaksanakan dengan tahapan menyimpan jasad (masyarakat Bali menyebutnya layon) yang disemayamkan di kediamannya, kemudian menunggu keputusan pemilihan hari baik menurut kalender Hindu Bali dan kesepakatan bersama keluarga serta pertimbangan dari Pedanda (Pendeta Hindu).
Melantunkan tembang tradisional Bali tiap malam sebelum upacara
Selain prosesi persembahyangan selama layon disemayamkan, kegiatan lain berjalan dengan normal dan tidak nampak adanya kesedihan yang berlebihan. Suasana kumpul bersama kerabat serta beberapa orang dekat menjadi suasana layaknya silaturahmi yang hangat lengkap dengan sajian kue tradisional dan kopinya. Senandung tembang mocopat atau menyanyikan lagu-lagu tradisional Bali berisikan petuah dan ajaran adat Bali mengiringi suasana setiap malam hingga hari pelaksanaan upacara ngaben akan digelar.
Selama prosesi persemayaman berlangsung, perlengkapan utama untuk pelaksanaan upacara berupa bade dan lembu juga sedang dipersiapkan oleh tim produksi yang dipimpin oleh seorang Undagi atau arsitek tradisional Bali. Bade adalah rangka menara yang akan digunakan sebagai wadah peti layon menuju lokasi upacara yang terbuat dari kayu dan bambu yang dihias dengan motif warna-warni dari kertas yang diukir. Sedangkan lembu adalah wadah untuk peti layon pada saat dilaksanakannya upacara pembakaran. Uniknya pembuatan kepala lembu hingga saat ini masih dilakukan oleh pengrajin di Yogyakarta, dan satu kepala lembu yang terbuat dari bahan fiber harganya mencapai Rp. 500.000. Sedangkan pembuatan badan lembu memerlukan biaya sebesar Rp. 3.500.000. Untuk harga satu menara atau bade yang dipergunakan untuk keluarga dari kalangan bangsawan atau dari kalangan yang mampu secara finansial, adalah sebesar Rp. 11.000.000.
Pembuatan lembu
Prosesi ritual ngaben, bagi kebanyakan masyarakat Bali yang kurang mampu, biasanya dilaksanakan secara massal, atau mereka mengikuti prosesi seorang bangsawan/kalangan mampu yang bersedia dan memberikan kesempatan untuk melaksanakan upacara di hari yang sama, dan hal tersebut termasuk upacara yang langka di Bali. Sedangkan selama layon disemayamkan menunggu sampai bisa dilaksanakannya upacara ngaben, ada beberapa tata cara atau prosesi yang harus dilaksanakan sesuai dengan adat masyarakat tersebut. Yaitu tata cara berdasarkan kedudukan sosial mereka menurut Kasta, yakni Brahmana, Kesatria, Waisya, atau Sudra. Kemudian dalam masa transisi selama layon dimakamkan, mereka meyakini bahwa roh orang yang telah meninggal tersebut menjadi tidak tenang dan ingin segera terbebas dari keterkungkungan hidupnya.
Pada hari pelaksanaan upacara, sejak dini hari aktifitas di rumah persemayaman layon sudah banyak diwarnai dengan segala persiapan dan persembahyangan. Para penyeroan atau perempuan yang bertugas menyajikan makanan dan minuman tak henti bekerja. Tapini yaitu sebutan untuk para perempuan yang menyiapkan banten atau sajen untuk keperluan upacara sudah menata sesajinya di atas bade sejak pagi. Termasuk para pekerja pembuat bade dan lembu yang merakit bagian perbagian di jalanan umum yang sudah ditutup sejak malam hari. Keluarga dan semua kerabat datang untuk memberi penghormatan terakhir. Semakin siang bunyi gamelan balaganjur terdengar semakin meriah seakan membawa suasana jauh dari duka cita. Dan pada tengah hari layon keluar dari ruang persemayaman untuk disiapkan di atas bade yang ada di jalan depan kediaman untuk dimulainya arak-arakan menuju lokasi upacara.
Merakit bade di lokasi upacara
Prosesi arak-arakan terdiri dari barisan pemusik angklung, pembawa banten, para pande atau ahli tempa besi, gamelan balaganjur, kemudian diikuti barisan kerabat dan keluarga. Sebuah tradisi menghantarkan kematian seseorang yang meriah layaknya sebuah pesta rakyat yang digelar dengan suka cita. Barisan arak-arakan, membuat suasana menjadi meriah di sepanjang perjalanan menuju lokasi upacara ngaben. Pengarak bade dan lembu di beberapa titik persimpangan jalan dengan sengaja melakukan gerakan berputar-putar yang bertujuan agar roh orang yang meninggal menjadi tak tenang, hingga tak dapat kembali ke keluarga asalnya karena dapat menyebabkan gangguan di kemudian hari. Dan rute yang dilaluipun juga bukanlah satu lajur jalan yang lurus, melainkan berbelok, hal ini dimaksudkan untuk mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari layon.
Sesampainya di lokasi upacara, dengan dipimpin oleh seorang Pedanda, ritual keagamaan dilakukan membuka jalannya prosesi ngaben. Kemudian layon diturunkan dari bade dan dipindahkan ke dalam punggung lembu untuk proses pembakaran. Pada masa sekarang, api pembakaran bukan lagi berasal dari kayu, melainkan menggunakan bahan bakar gas sehingga prosesnya lebih cepat. Tapi untuk prosesi pembakaran layon yang sudah berujud kerangka tulang, yang biasa dilakukan masyarakat umum secara massal, masih menggunakan kayu dan minyak tanah. Selama proses pembakaran berlangsung, kerabat yang hadir disuguhi tontonan kesenian tradisional yang khas dari daerah setempat. Suasana yang mirip dengan gelaran pesta rakyat tampak dari keramaian pedagang makanan dan minuman ringan serta mainan anak-anak yang berada di lokasi upacara tersebut. Dan tahapan terakhir memasukkan abu ke dalam buah kelapa gading dan dirangkai menjadi sekah yang kemudian dilarung atau dihanyutkan ke laut. Karena bagi umat Hindu Bali, laut merupakan simbol alam semesta yang menjadi pintu untuk memasuki rumah Tuhan.
Pagi sebelum upacara, para perempuan menyiapkan banten di depan bade lembu
Sebuah penghormatan bagi orang yang telah meninggal, menjadi sangat penting dan berarti khusus bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagi masyarakat adat Bali, kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik. Sehingga melepas kematian seseorang harus disertai dengan doa dan kerelaan, serta suka cita untuk menghantarkan orang yang dicintai bebas dari ikatan keduniawian. Ritual ngaben menjadi prosesi sakral yang dilakukan dengan penuh cinta kasih bagi keluarga yang ditinggalkan, sementara roh yang dilepas akan menuju nirwana atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan lahir kembali di pulau Bali yang dicintainya.
Penyerohan adalah kaum perempuan yang paling sibuk menyajikan makan minum selama upacara
Perempuan dari beberapa Banjar di Kesiman menuju Pura
Pecalang bertugas menjaga kelancaran semua prosesi
Penghormatan kepada leluhur
Arak-arakan yang penuh kemeriahan
Kekompakan mengatasi hambatan selama prosesi arak-arakan sangat diperlukan
Layon dinaikkan ke lembu untuk upacara pembakaran
Tapini atau para perempuan yang bertugas menyiapkan banten sebelum upacara pembakaran
Persiapan sebelum upacara pembakaran
Prosesi pembakaran
Kerangka mulai menjadi arang dan abu
Kesenian tradisional menjadi hiburan saat upacara pembakaran (Prajurit Poleng Kesiman)
Prosesi Pelebon di Puri Kesiman yang diikuti oleh 7 Banjar pengikutnya
Kelapa gading untuk menyimpan abu layon
(Mengenang Pelebon Raden Ayu Sutarsyah ibunda dari A.A. Ngurah Gede Kusuma Wardhana, Penglingsir Puri Agung Kesiman Denpasar Timur Bali yang diikuti prosesi Ngaben 7 Banjar pengikutnya yaitu, Dajan Tangluk, Dangin Tangluk, Kusuma Jati, Abian Tubuh, Dauh Tangluk, Pabean, dan Cerancam)
(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)