Romantisme Bersepeda Ala Jogja

Foto oleh : Aan Prihandaya
Pin It

01.jpg

Yogyakarta duapuluh hingga tigapuluh tahun yang lalu, setiap pagi khususnya di jalan Bantul,  jalan Wates, jalan Godean, jalan Parangtritis, jalan Wonosari dan jalanan yang mengakses ke arah kota selalu dipenuhi oleh rombongan orang bersepeda. Hal itu akan terulang di siang dan sore harinya. Para pengguna sepeda berjajar hingga empat baris dan memanjang seakan konvoi hingga memenuhi jalan. Itulah Yogyakarta, yang sempat memiliki julukan sebagai kota sepeda. Saat itu sepeda menjadi moda transportasi yang sangat jamak bagi setiap orang. Mereka menggunakan sepeda untuk ke sekolah maupun bekerja. Kondisi kota Yogyakarta yang relatif kecil, menjadi mudah untuk dijangkau dengan kendaaraan non mesin ini.

Namun dengan perkembangan jaman, semuanya mulai berubah. Kemampuan ekonomi warga yang meningkat membuat orang mulai beralih dari sepeda ke kendaraan bermotor. Konsekuensinya, ruang kota yang tidak lebar dengan jalanan yang sempit menjadi semakin padat oleh sepeda motor dan mobil.

Fenomena ini tidak berarti Yogyakarta tidak ada sepeda. Masih bisa ditemui di sudut kota, masyarakat yang masih setia bersepeda. Apalagi seiring dengan berkembang dan meningkatnya hobi bersepeda, baik untuk berwisata maupun untuk berolah raga. Yogyakarta saat ini memiliki banyak klub sepeda. Berbagai macam komunitas sepeda mulai dari klub sepeda onthel, free style bike maupun sepeda gunung. Bahkan beberapa waktu lalu, pemerintah kota Yogyakarta mencanangkan program Sego Segawe, Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe (Bersepeda saat Sekolah dan Bekerja) yang didukung penuh oleh walikota saat itu. Komunitas sepeda inilah yang mendorong jalan utama Yogyakarta memberi ruang untuk sepeda. Di jalan-jalan tertentu dipasang papan penunjuk jalur alternatif bagi pengguna sepeda. Hampir di setiap lampu pengatur lalu lintas di jalan utama disediakan ruang untuk berhenti sepeda di saat lampu merah.

Di awal tahun 2000-an di Yogyakarta muncul komunitas penggemar sepeda tua. Sepeda yang lazim disebut sepeda onthel, sepeda kumbang, sepeda unta atau pit pancal adalah sepeda standar dengan ban ukuran 28 inchi, yang pada tahun 1970-an lebih banyak digunakan sebagai sarana transportasi oleh masyarakat pedesaan. Namun pada tahun 2000an situasi menjadi berbalik. Sepeda jenis ini mulai diburu dan karena usia dan kelangkaannya, sepeda ini telah berubah menjadi barang antik dan unik.

Di Yogyakarta, tercatat ada Podjok (Paguyuban Onthel Jogjakarta), JOC (Jogja Onthel Community), OPOTO atau komunitas Onthel Potorono dan berbagai komunitas lain yang tersebar di Yogyakarta. Mereka menggemari dan mengkoleksi sepeda onthel dari berbagai jenis dan merek. Di segmen premium terdapat sepeda dengan merek Fongers, Gazelle dan Sunbeam. Kemudian pada segmen dibawahnya diisi oleh beberapa merek terkenal antara lain seperti Simplex, Burgers, Raleigh, Humber, Rudge, Batavus, Phillips dan NSU. Rata-rata adalah sepeda produksi Eropa.

Namanya juga penggemar, mereka berusaha melengkapi sepeda seorisinil mungkin sampai detil. Hingga terjadilah perburuan bel kring, lampu setopan, lampu depan, sadel hingga tas kulit dan kelengkapan sepeda asli lainnya. Semakin tua dan semakin asli tentunya akan semakin gaya dan mengangkat citra. Sudah jamak, kondisi ini membuat harga sepeda dan asesoris asli menjadi membumbung tinggi, bahkan sampai pada tataran yang tidak masuk akal. Ada seorang penggemar yang mengeluarkan dana jutaan rupiah untuk membangun sepedanya. Konon, ada seorang pengusaha yang rela menukar mobilnya, yang termasuk keluaran baru dengan sebuah sepeda antik yang masih orisinil.

Dalam maraknya komunitas penggemar sepeda tua dan munculnya berbagai jenis sepeda baru, tumbuh pula kreatifitas anak-anak muda yang membuat bermacam jenis sepeda unik seperti sepeda tinggi, sepeda pendek (lowrider bike) dan jenis-jenis sepeda yang kadang membuat orang bingung cara mengendarainya. Mereka saling adu kreatifitas menciptakan sepeda yang unik dan menarik.

Namun tidak semua penggemar sepeda sekedar menghambur-hamburkan dana. Banyak kegiatan positif lain yang mereka lakukan. Anggota komunitas ini sering melakukan turing bersama, melakukan bakti sosial seperti misalnya donor darah. Mereka juga rajin berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan sepeda yang diselenggarakan di dalam maupun luar kota.

Pada malam Minggu mereka biasa berkumpul di titik 0 kota Yogyakarta di depan Gedung Agung atau kantor pos. Kemudian berkonvoi bersama keliling kota, tentu saja dengan sepeda kebanggaannya. Satu kegiatan asyik, unik sebagai refreshing setelah disibukkan dengan urusan sekolah maupun kerja. Salam Kratonpedia.

02.jpg

 Bersepeda masih menjadi sarana transportasi anak-anak (Foto: AP)

 03.jpg

Bekerja sama ke sekolah. Yang satu memegang setang, yang satunya mengayuh (Foto: AN)

04.jpg

Disediakan ruang berhenti khusus untuk pengguna sepeda (Foto: AP)

05.jpg

Jalur alternatif pengguna sepeda di Yogyakarta (Foto: AP)

06.jpg

Minggu pagi bersepeda bersama di alun-alun kidul (Foto: AP)

07.jpg

Berangkat ke pasar (Foto: AN)

08.jpg

Kreatifitas khas Jogja: Sepeda batik (Foto: AN)

09.jpg

Sepeda roda tiga untuk orang dewasa? (Foto: AP)

10.jpg

Sepeda "long chasis" (Foto: AP)

(Teks: Aan Prihandaya, Foto: Adi Novi & Aan Prihandaya/Kratonpedia)


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos