Pucang Sawit adalah nama sebuah kampung di kota Solo bagian timur, tepatnya sebuah gang kecil yang banyak dihuni warga masyarakat non Tionghoa. Kampung ini terletak sekitar empat kilometer dari Pasar Gede, pasar tradisional yang ramai dan merupakan salah satu pusat perdagangan strategis baik pada jaman dahulu maupun pada masa kini, karena lokasinya yang dekat dengan pusat pemerintahan dan Kraton Kasunanan Surakarta.
Gang masuk kampung Pucang Sawit sendiri berada di tepi jalan besar yang menghubungkan daerah Jawa Tengah menuju ke Jawa Timur, jadi merupakan jalan lintas Propinsi yang padat dan merupakan jalur perdagangan. Tinggallah seorang anggota masyarakat di kampung tersebut yang kebetulan adalah keturunan etnis Tionghoa, namanya koh Hani, begitu masyarakat kampung Pucang Sawit dan sekitar memanggilnya.
Kisah sederhana kali ini adalah melihat keunikan dan kebersamaan dalam sebuah pesta perayaan datangnya tahun baru Cina, atau perayaan Imlek 2563 yang digelar koh Hani di halaman rumahnya yang sederhana tapi banyak memberikan gambaran tentang berbagi kegembiraan dan sebuah konsep persatuan ala kampung Pucang Sawit di pinggiran kota Solo. Berikut hasil rekaman foto sebuah kisah kemesraan dalam perayaan menyambut datangnya Imlek 2563 ala Pucang Sawit, Gong Xhi Fa Cai. Salam Kratonpedia.
Hujan rintik-rintik di gang kampung Pucang Sawit, anak-anak yang datang kian banyak
Rela berbasah-basah dan bersatu dalam kegembiraan menyambut Imlek 2563
Ragam ekspresi dalam sebuah penantian
Berharap hujan agak sedikit reda
Koh Yubing pemilik sasana Liong dan Barongsai Karunia Maha Kuasa Solo memberi arahan
Segala persiapkan menjelang acara perayaan Imlek 2563 di rumah koh Hani
Kerabat dekat koh Hani mulai berdatangan ke kampung Pucang Sawit
Lampion menjadi dekorasi utama beranda rumah koh Hani
Melihat dari balik mulut Barongsai, menunggu aba-aba
Ukuran badannya yang masih anak-anak tidak menghalanginya untuk siap beraksi
Detik-detik penantian segera berakhir, tidak sabar menunggu atraksi
Harap-harap cemas dalam keadaan basah dan cuaca sore mulai dingin
Barongsai dan para pemain pengganti sudah siap
Barongsai melakukan formasi untuk berdoa sebelum pertunjukan
Atraksi dimulai.......................
Anak-anak Pucang Sawit menonton dengan antusias dan merasakan kegembiraan Imlek 2563
Lompatan demi lompatan dilakukan dengan suka cita
Dua Barongsai sedang beraksi untuk mengambil angpao yang diselipkan dibawah kursi
Tambur dan symbal memberi irama untuk atraksi Barongsai
Tradisi yang diperkenalkan sejak dini dengan pendekatan suasana bermain dan bergembira
Burung kutilang menjadi kelengkapan untuk upacara perayaan
Ritual melepas burung untuk simbolisasi melepas chiong atau sial dan memberikan rasa bahagia
Menuliskan nama di cangkang kura-kura sebelum dilepas ke sungai untuk melepas chiong
Pengiriman doa untuk leluhur dengan membakar berbagai simbol
Doa-doa yang dikirimkan untuk para leluhur atau orang tua dan kakek moyang
Menjelang pukul enam sore Barongsai mengelilingi api yang mulai padam
Buah pear yang sudah dimohonkan doa keselamatan dan doa syukur siap disantap bersama
Kue bapao dibawa menuju ruang tamu untuk acara makan bersama
Santap malam yang meriah, nasi kuning, ayam goreng, tumpeng ketan merah, jeruk, kue moho dll
Jeruk lokam dan nasi kuning pincuk dengan ayam goreng siap dibagikan
Nasi kuning dengan aneka lauk diracik diberanda rumah untuk dibagikan ke warga
Tujuh ratus pincuk nasi kuning siap dibagikan
Mengantri dengan tertib untuk sepincuk nasi kuning dan angpao menutup perayaan Imlek
Orang tua dan anak-anak merasakan berkah perayaan Imlek di kampung Pucang Sawit
Angpao yang dibagikan mengakhiri perayaan Imlek 2563 di Pucang Sawit
Imlek 2563 yang meriah untuk kampung Pucang Sawit dan koh Hani
(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)