Gorengan Khas Solo

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

 dakdo_3_1.jpg

Saat sore hari tiba dikala waktu santai atau usai waktu kerja, ada yang selalu hadir melengkapi teman minum teh atau kopi. Budaya minum teh dan kopi konon datang dari bangsa asing yang masuk ke Bumi Nusantara sejak ratusan tahun silam. Entah kebenarannya seperti apa, tapi kedua jenis rempah itu sudah ada dan ditanam oleh para petani nenek moyang bangsa ini.

Seperti dalam kehidupan Kraton, kebiasaan meminum teh atau kopi menjadi sebuah hiburan tersendiri dan bahkan menjadi bentuk perjamuan untuk menghormati tamu. Budaya ini keluar dari tembok Kraton dan menjadi sebuah kebiasaan masyarakat diluar Kraton sebagai bentuk adat ketimuran untuk menyenangkan diri sendiri dan orang lain.

Kalau pada jaman penjajahan Belanda atau tradisi yang dibawa masuk dari budaya barat, teman minum teh atau kopi biasanya berupa biskuit atau roti. Masuknya budaya minum teh atau kopi ini juga diadaptasi oleh nenek moyang bangsa ini dengan mengubah bentuk makanan pendampingnya menjadi bentuk yang berbeda tapi punya kemiripan bahan dan cara pembuatannya, khususnya lingkungan yang dekat dengan Istana atau Kraton.

Seperti Pak Widakdo yang akrab dipanggil pak Dakdo, pedagang gorengan khas Solo ini mengaku hanya meneruskan usaha membuat gorengan atau jenis roti Jawa secara turun temurun dari ayahnya. Pak Dakdo mulai meneruskan usaha ini sejak tahun 1979 di rumah orang tuanya di kampung Sudiro Krajan sebelah timur Pasar Gede Solo. Jadi sudah 39 tahun setia menggeluti usaha tradisional ini. Dan tidak tahu secara persis kapan leluhurnya memulai membuat gorengan khas Solo ini.

Daerah kampung Sudiro Krajan hanya berjarak 100 meter dari Kraton Kasunanan Surakarta dan 300 meter dari Puro Mangkunegaran. Dan sejak tahun 1987 pak Dagdo pindah tempat baru di daerah Keprabon atau jalan Imam Bonjol Solo yang tidak jauh dari kampung asalnya. Lokasi ini merupakan sentra jajanan khas Solo yang hanya berjarak 150 meter dari Puro Mangkunegaran.

Panganan khas yang menjadi andalan pak Dakdo  adalah kue moho dan gembukan. Resep ini sudah cukup tua dan sudah turun temurun ditularkan dalam keluarganya di kampung Sudiro Krajan. Sebagian besar gorengan khas Solo yang dibuat berbahan dasar tepung gandum, kemudian diolah menjadi adonan tepung gandum yang diuleni mirip dengan cara pembuatan roti, baru kemudian digoreng dengan wajan besar dan minyak panas yang banyak.

Sedangkan khusus untuk kue moho dimasak dengan cara dikukus menggunakan wajan besar berisi air yang dididihkan dan kemudian sebuah dandang besar sebagai alat mengukus yang dilapisi daun pisang diletakkan diatas wajan tersebut. Dalam sehari pak Dakdo menghabiskan 60 kilogram tepung gandum, dan membutuhkan  bantuan tujuh orang asisten. Perhari rata-rata membuat 700 kue moho dan 600 gembukan yang laris manis diserbu masyarakat Solo.

Setiap hari masyarakat Solo bisa menikmati gorengan khas Solo ini mulai dari jam setengah lima sore hingga jam sepuluh malam. Harganyapun terjangkau, berkisar Rp.1.200 sampai Rp.1.700 per satuannya. Yang istimewa selain rasanya yang enak, ukurannnyapun jumbo alias serba besar, cukup menyenangkan dan mengenyangkan.

Selain khas dengan gembukan dan kue moho, tersedia juga kue bolang baling, ledre intip, onde-onde, tahu petis, tahu susur, tape goreng dan jenis makanan tradisional lain khas Solo. Sangat menyenangkan memang apabila lebih banyak jenis makanan tradisional yang bisa disajikan sebagai teman minum teh atau kopi di sore hari bisa disajikan. Budaya siapapun dan kapanpun akan  menyenangkan kalau memang itu bisa membawa kebaikan untuk semua.

Solo masih menyimpan banyak cerita unik yang belum bisa dibagi semuanya, tapi pasti tidak ada yang akan dilewatkan, hanya membutuhkan waktu dan kesempatan untuk lebih dekat lagi mengenal dan memahami indahnya keragaman budaya Nusantara. Salam KratonPedia!

dakdo_9_1.jpg 

dakdo_11_1.jpg 

dakdo_8_1.jpg 

dakdo_7_1.jpg 

dakdo_12_1.jpg 

dakdo_2_1.jpg 

  

dakdo_1_1.jpg 

dakdo_4_1.jpg 

(teks dan foto : Wd Asmara/KratonPedia)  
Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos