Waisak 2555 BE/2011: Jalan Sunyi Sang Bodhisattva

Artikel oleh :
Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Hari masih pagi, saat kabut tebal yang menyelimuti kawasan Borobudur mulai perlahan tersingkap mentari pagi yang mulai memunculkan pendarnya ke segala penjuru. Sebuah tanda pergantian waktu itu pun, sama sekali tak mengurangi rutinitas keseharian masyarakat Borobudur dan sekitarnya dalam menyambut pagi. Sejak subuh, kawasan itu sudah mulai ramai oleh hiruk-pikuk warga setempat dan pendatang yang tengah berlalu-lalang menyiapkan segala sesuatunya menyambut perhelatan puncak Hari Raya Waisak 2555 BE/2011.  

Yah, menyambut Hari Raya Waisak, Umat Budha yang tergabung dalam Perwakilan Umat Budha Indonesia atau biasa disingkat WALUBI itu, kembali memperingati tiga momentum akbar tahunan yang biasa disebut dengan Tri Suci Waisak. Perayaan Waisak 2555 BE tahun ini, jatuh pada Hari Selasa, 17 Mei 2011, pukul 18.08.23 WIB, yang puncaknya dihelat di Candi Borobudur. Tak hanya itu, momentum ini, juga menjadi event pariwisata menarik bagi semua lapisan masyarakat yang ingin melihat langsung dari dekat, baik di Candi Mendut maupun di Candi Borobudur.

Prosesi ritual Tri Suci Waisak, bagi semua umat Buddha dari Ketiga Sangha: Mahayana, Tantrayana dan Theravada menjadi semacam penanda utama dimulainya napak tilas kehidupan mengikuti jejak Sang Buddha, yang diawali dengan kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan Maha Parinirvana Sang Buddha, sebagai puncak perayaan utama Waisak. Semua itu, diharapkan menjadi satu tujuan sebagai ujud bakti dan penghormatan kepada Sang Guru Agung, Buddha Gautama menuju kemuliaan sejati.

Napak Tilas Sang Buddha

Secara keseluruhan, rangkaian prosesi ritual Waisak diawali dengan pengambilan Air Berkah Waisak (14/5). Air atau tirta yang melambangkan kerendahan hati ini, diambil langsung pagi harinya dari mata air alami, di Umbul Jumprit, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Tirta suci ini, kemudian dibawa ke Candi Mendut untuk disemayamkan dan disakralkan menjadi air berkah yang nantinya dibagi-bagikan dalam kemasan botol plastik pada umat saat puncak Waisak tiba.

Keesokan harinya, karena hujan tak kunjung reda, siang harinya baru diikuti dengan pengambilan Api Abadi Mrapen, di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah (15/5). Api ini, melambangkan semangat sebagai sarana peribadatan ritual umat Buddha yang senantiasa melahirkan pencerahan dan penyadaran dalam kehidupan ini. Api Dharma itu, kemudian juga disemayamkan di Candi Mendut sebelum akhirnya bersama Air Berkah Waisak ikut dibawa ke Candi Borobudur dalam sebuah pawai.

Secara simbolis, Api Dharma dari Mrapen ini dimaknai oleh WALUBI, sebagai suatu upaya menjadikan kebersamaan dan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia yang dilandasi cinta kasih. Malam harinya, dilanjutkan dengan prosesi ritual Siripada (pelepasan atau larung Lilin Api), dari Candi Mendut menuju tempuran Sungai Elo dan Sungai Progo yang jaraknya tak begitu jauh dari Candi Mendut. 

Menuju perayaan puncak Waisak, sehari sebelumnya digelar tradisi Budhhis kuno, Pindapatta (16/5), atau tradisi para biksu yang diikuti oleh 150-an bhikkhu/bhikkhuni dari Sangha Mahayana dan Theravada, untuk mengumpulkan sumbangan dana dan makanan ke dalam mangkuk (patta) dari satu tempat ke tempat lain yang dilakukan secara bersama-sama sambil berjalan kaki di seputar jalan Pemuda, Kota Magelang yang diawali dari Klenteng Liong Hok Bio.

Puncaknya (17/5), mulai Selasa siang dilakukan kebaktian pembuka di Candi Mendut dan dilanjutkan dengan meditasi bersama menyambut detik-detik Waisak 18.08.23 WIB, di Candi Borobudur. Setelah beberapa saat sebelumnya, digelar pawai atau arak-arakan dari Candi Mendut menuju Candi Borobudurmelewati Candi Pawon. Selanjutnya, diikuti dengan seremonial di altar utama dipimpin oleh Bhante Wongsin Labhiko Mahathera yang dihadiri ribuan umat dan berbagai tamu undangan lainnya dari berbagai kalangan.

Paska peringatan detik-detik puncak perayaan Waisak 2555 BE/2011, masih ada satu lagi prosesi ritual yang disebut Pradaksina. Prosesi ini, lebih dikenal sebagai ujud penghormatan akhir bagi Sang Buddha yang dilakukan dengan cara meditasi berjalan sembari ber-dzikir melantunkan doa dan membawa lilin beragam bentuk dengan mengelilingi Candi Borobudur sebanyak 3 kali yang diawali oleh rombongan tambur dan trompet sangkakala yang memecah keheningan malam dari para bhikkhu.

Dan pamungkasnya adalah pelepasan 1000 lampion yang menjadi momentum yang selalu dinanti-nantikan saat malam puncak Waisak tiba. Di sini semua hadirin menyatu melantunkan doa dan harapan sebelum akhirnya melepaskan lampionnya masing-masing ke udara. Sesaat, langit di atas deretan stupa-stupa di Candi Borobudur yang bermandikan cahaya penuh bulan purnama itu, seperti menari berhiaskan cahaya-cahaya kecil penerang dunia yang bertebaran mengikuti angin ke segala penjuru.  

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos