Wayang Groove, Impian Seniman Muda Mutihan (episode-5)

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

logo_oke.jpg

Membangun studio untuk mengejar impian,  sudah beberapa minggu sejak pertengahan bulan November 2011 rumah Mutihan direnovasi, Plenthe yang melibatkan kakak dan kerabat dekatnya melakukan perbaikan studio kecilnya dengan bertahap.  Secara perlahan material bangunan dikumpulkan, semua dibeli dari hasil pementasan dan dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga renovasi rumah Mutihan bisa diwujudkan.

Setelah menyelesaikan ruang rekaman yang kedap suara dengan tehnologi “dahndog”, tahapan berikutnya mulai merambah ruang depan dan teras rumah Mutihan. Hampir semua tahapan dilakukan dengan tenaga sendiri, dan meskipun sederhana, renovasi tersebut banyak memberikan arti dan semangat untuk Plenthe dan komunitas rumah Mutihan. Ruang depan yang dulunya tidak ada sekat, kini berdiri dinding tembok dengan batu bata yang tidak diplester, dan membagi ruang depan menjadi ruang tamu dan ruang kontrol studio.

Merenovasi rumah Mutihan dilakukan dengan spontan, tidak ada persiapan dana atau rancangan khusus untuk memulainya. Saat memulai, Plenthe berhitung diangka tiga juta rupiah semua bisa mulai dikerjakan, tapi ditengah perjalanan renovasi, ide mulai melebar dan akhirnya tidak terasa biayapun sudah mencapai dua belas juta rupiah. Semangat untuk terus mewujudkan karya terbaik dan rejeki yang mengalir begitu saja tanpa sebuah perencanaan membuat semuanya berjalan sesuai keinginan Plenthe dan teman-teman di rumah Mutihan. Dari setiap pementasan mereka bermain perkusi, sedikit demi sedikit Plenthe sisihkan untuk biaya renovasi rumah Mutihan. Dan yang menjadi kebahagiaan bagi mereka adalah, sebelum mereka memakai uang hasil pementasan, sebagian mereka salurkan ke yayasan sosial seperti untuk kegiatan operasi bibir sumbing dan aktifitas sosial lainnya. Bentuk syukur itulah yang membuat Plenthe, Pese, Bangkit, Tunggul dan semua anggota komunitas rumah Mutihan selalu mempunyai energi untuk terus berkarya dan berpikir kreatif, dan terus menjalani proses hidup mengalir seperti air.   

Konsep yang menjadi dasar dibuatnya sekat dalam ruang depan adalah “Neng sak njerone omah ono omah”, artinya di dalam rumah masih ada rumah, maknanya adalah bahwa manusia itu akan selalu hidup, dan kematian itu hanyalah perantara untuk masuk ke dalam rumah baru dengan kehidupan baru. Nilai itu yang menjadi pegangan Plenthe dalam hidup untuk selalu berbuat baik dan menghasilkan karya baik serta bermanfaat untuk kehidupan disekitar dia dan keluarganya, karena akan  ada kehidupan berikutnya yang harus dimodali dari kehidupan yang dia jalani saat sekarang. Dari konsep itulah nantinya akan dipasang atap genteng yang terdapat di atas ruang kontrol studio, dan konsep tersebut merupakan bentuk warisan ajaran atau pesan dari orang tua yang melekat dalam diri Plenthe dan dipahaminya dengan simbol yang dia terjemahkan dengan gayanya sendiri.

Terus berproses dengan komposisi musik, di sela-sela saat proses renovasi fisik rumah Mutihan terus berjalan, kegiatan yang juga tidak pernah berhenti adalah membuat karya musik dan terus berlatih. Hari itu di minggu ketiga bulan November, Faisal dan Bangkit sedang membuat sebuah komposisi musik instrumental di ruang kontrol yang masih dalam perbaikan. Faisal adalah pemuda 24 tahun keturunan Pakistan dan Cina yang piawai memainkan jenis alat musik petik dan mempunyai kebiasaan unik berjalan kaki saat mencari inspirasi untuk permainan gitarnya. Dengan kemampuan bermain gitarnya, Faisal dan energi kreatifnya juga menjadi bagian dari salah satu kekuatan yang akan mewujudkan mimpi wayang groove suatu hari nanti.

Dari siang hari hingga tengah malam aktifitas rumah Mutihan saat ini diwarnai bunyi-bunyian lain, pada hari biasa hanya didominasi bunyi tetabuhan gendang dan suara suling, namun sekarang suara pukulan kayu yang beradu dengan palu juga ikut meramaikan suanana studio kecil di kampung Mutihan tersebut.

3.jpg  Plenthe, "Neng sak njerone omah ono omah". 

20.jpg  Pintu untuk ruang kontrol studio harus 'dipas' beberapa kali sebelum dipasang. 

17.jpg  Dinding bata merah menjadi penyekat ruang depan rumah Mutihan. 

21.jpg  Lesehan tetap menjadi pilihan yang  nyaman untuk santai di rumah Mutihan. 

16.jpg  Terus berproses dengan kesederhanaan. 

24.jpg  Tunggul selalu sigap untuk masalah yang berkaitan dengan urusan perut. 

23.jpg  Momen paling mewah di Mutihan, saat makan siang tiba, lengkap dengan  sajian sop hangat dan   sambal   trasi yang mantap!. 

27.jpg   Siang hingga malam Suryo terus menggoreskan kuasnya. 

31.jpg   Selalu ada keceriaan di rumah Mutihan. 

19.jpg   Tunggul, Faisal dan Bangkit dalam pembuatan karya komposisi musik etnik instrumental. 

13.jpg   Faisal, kreatif dan selalu asyik dalam 'dunianya'. 

Pese asyik membuat djembe sendiri, langkah awal adalah dengan memesan kayu mahoni utuh dan dibubut membentuk cerobong seukuran gendang di daerah Blitar Jawa Timur, kemudian tahap berikutnya kayu yang sudah dibentuk tadi diukir oleh Pese dengan motif  tradisional yang bernuansa Kalimantan dan Papua, karena motif-motif tradisional tersebut memang menjadi favoritnya.   Kemudian proses selanjutnya adalah memberikan warna pada  motif ukirannya.  Setelah itu langkah berikutnya,  membeli kulit kambing seharga Rp.50.000 perlembar di sebuah pasar tradisional. Pese sangat mahir dalam pembuatan djembe ini, membutuhkan waktu satu minggu untuk membuat satu djembe sejak proses mengukir sampai kulit terpasang dan siap ditabuh.

Ketelatenan dan ketelitian sangat diperlukan saat membersihkan bulu dari kulit kambing utuh, dengan menggunakan pisau dari isi ‘cuter’ yang tajam, bulu-bulu kambing perlahan dicukur sampai bersih sebelum nantinya direndam dalam air selama semalam suntuk. Semua tahapan Pese lakukan dengan dasar kecintaan yang tinggi terhadap djembe yang selalu menemaninya dalam setiap karya dan mimpinya.

Selain digunakan untuk sendiri atau untuk rumah Mutihan, djembe buatan Pese ini juga sering dipesan dengan permintaan khusus yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Disadari atau tidak, kecintaannya dengan alat musik ini, telah memberikan warna dalam kehidupan Pese, sosok yang sepintas terlihat sebagai pribadi yang pendiam tapi juga “celelekan” (humoris) ini menyimpan kekuatan dalam bertahan hidup dan membangun mimpi-mimpi kreatifnya.

5.jpg  Pese, kecintaannya terhadap alat musik djembe sangat kuat. 

14.jpg  Membersihan bulu dari lembaran kulit kambing utuh, sebelum dipasang ke rangka kayu.

32.jpg  Telaten dan sabar menjadi bagian penting saat membersihkan kulit kambing dari bulunya. 

33.jpg  Tunggul menunggui proses perbaikan djembenya yang diganti kulit baru. 

30.jpg  Kulit dipasang dengan proses penarikan tali yang kuat dan rapi.

26.jpg   Pese dan karya djembenya. 

28.jpg  Pese harus menarik kulit dengan tenaga ekstra untuk menghasilkan djembe yang sempurna. 

34.jpg  Dibutuhkan waktu satu minggu untuk membuat satu djembe karya Pese. 

Teman baru datang dari Jakarta,  siang itu kampung Mutihan tidak hujan, tapi langit cukup kelabu dipenuhi awan, hari itupun cuaca terasa cukup panas. Hari Senin memasuki minggu kedua bulan Desember 2011, Plenthe dan komunitas seniman muda rumah Mutihan masih menjalani hari-harinya dengan aktifitas seperti biasa, memulai siang dengan santai untuk persiapan rekaman album baru musik perkusi dengan Pese, Bangkit dan Tunggul. Kegiatan renovasipun masih terus berproses, saat itu Bangkit dan Suryo melakukan pengecatan tembok ruang depan. Suryo adalah kakak kandung Plenthe yang memiliki  bakat alam menggambar motif batik yang diwarisi dari kakek dan bapaknya. Bakat itu mengalir alami dan membuatnya makin mahir mengolah kuas dan melahirkan karya lukis, meskipun penyalurannya bukan melalui media kanvas, karena  di rumah Mutihan, semua bidang adalah media ekspresi. Seperti yang sedang dilakukannya untuk membuat perwajahan baru di dinding rumah Mutihan ini.

15.jpg  Suryo sedang membuat sketsa lukisan yang akan dipasang untuk menutup jendela studio.

9.jpg  Suryo dan tembok yang menjadi media lukisnya. 

Siang itu tepat pukul 12:30 rumah Mutihan kedatangan tamu ‘istimewa’ dari Jakarta. Kandi Windoe, perempuan kelahiran Kediri yang lama tinggal di Jakarta, lulusan sebuah perguruan tinggi di Leiden Belanda, datang karena ketertarikan dengan sebuah mimpi dari rumah Mutihan. Mimpi untuk mewujudkan pagelaran wayang groove  yang masih terus berproses hingga nanti menemukan jalan, entah lewat perkenalan atau pertemuan dengan pihak manapun yang akan mendukung terwujudnya impian seniman muda rumah Mutihan. Keinginan untuk mengenal langsung dan berbagi cerita, membuat seorang Kandi Windoe berada di rumah Mutihan, dan semua terjadi sangat spontan. Tak terlihat sedikitpun kecanggungan dari Kandi saat lesehan di ruang depan dan ngobrol bersama Plenthe, Bangkit, Pese dan Tunggul, meskipun keadaan ruangan yang mereka tempati waktu itu masih dalam  kondisi direnovasi.

2.jpg  Kandi Windoe di dapur rumah Mutihan. 

Obrolan seputar bagaimana alam menyatukan Plenthe dan kawan-kawannya ke rumah Mutihan hingga wayang groove menjadi sebuah mimpi besar, membuat pertemuan dengan Kandi diwarnai dengan banyak nuansa “kebetulan”. Serba kebetulan itulah yang terkadang menjadikan semua mimpi akan lebih mudah untuk dikejar dan diwujudkan. Tak banyak yang Plenthe dan kawan-kawan Mutihan tahu tentang siapa Kandi Windoe, tapi ketertarikan Kandi dengan wayang groove dan semangatnya untuk datang ke Mutihan telah memberikan tambahan energi untuk mewujudkan wayang groove.

7.jpg  Bangkit, Plenthe dan Kandi menikmati klip jaranan karya rumah Mutihan. 

Teh panas manis buatan Tunggul menjadi penghangat obrolan siang itu di rumah Mutihan, dan latar belakang Kandi sebagai praktisi bidang periklanan di Jakarta memberi warna baru pada sesi perkenalan siang itu. Semua obrolan mengalir begitu saja dengan sesekali diselingi tawa lepas sebebas karya mereka. Dan dinding tembok tanpa plester ruang depan rumah Mutihan menjadi saksi perkenalan hari itu, semoga semua kebaikan akan membawa kebahagiaan di hari nanti, saat lampu panggung wayang benar-benar sudah dinyalakan. Salam Kratonpedia.

kandi_1.jpg  Kandi menikmati seteguk teh panas manis buatan Tunggul di rumah Mutihan.

4.jpg  Bangkit, susah senang sudah dia jalani sejak lama dengan Plenthe. 

1.jpg  Plenthe dan ekspresi semangat wayang groove saat obrolan santai dengan Kandi di Mutihan.

8.jpg  Suryo dan Bangkit dalam lukisan siluet tembok rumah Mutihan. 

10.jpg  Bangkit membuat sket bayangan Plenthe di dinding tembok. 

12.jpg  Bayangan dalam tembok rumah Mutihan, tentang karya dan rasa syukur untuk terus dibagi.

18.jpg    Teh dan kopi selalu setia menemani ruang depan rumah Mutihan.  

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)

 


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos