Suasana pagi di kampung Ngepung. (foto: SA)
Suasana Kampung Ngepung, Kecamatan Pasar Kliwon- Solo, pagi itu tampak begitu ramai, lebih dari hari biasanya. Kampung yang terletak di bantaran Sungai Bengawan Solo tersebut didatangi oleh masyarakat dari berbagai daerah di Kota Solo. Memang pagi itu tidak seperti biasanya. Sungai yang sehari-hari hanya ada aktivitas penyeberangan perahu kecil dari Solo ke Sukoharjo, kini tampak penuh dipadati dengan rakit-rakit bambu yang sudah dihias dengan berbagai gaya.
Topeng wajah lucu menjadi perhatian anak-anak. (foto: SA)
Rakit atau dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah “gethek” merupakan perahu sederhana yang dibuat dari jalinan batang-batang bambu yang sejak dulu digunakan oleh penduduk sekitar Bengawan Solo untuk mengarungi sungai. Gethek – gethek tersebut sengaja dihias khusus pada hari itu untuk sebuah perhelatan yang bertajuk Festival Gethek 2011.
Festival Gethek ini diselenggarakan untuk mengingatkan kembali akan arti penting Bengawan Solo bagi dinamika kehidupan warga di sekitarnya. Sungai yang sudah begitu terkenal ke manca negara lewat lagu gubahan Gesang ini sempat menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Solo, baik sebagai sumber air maupun sebagai sarana transportasi air. Dahulu, ketika ketinggian air belum terganggu oleh sampah dan pendangkalan, memungkinkan perahu-perahu besar untuk melintas di atas sungai tersebut, bahkan bisa menjangkau anak bengawan yang terletak di dearah Laweyan.
Gethek yang dinaiki Jokowi Walikota Solo berisi hasil bumi atau palawija. (foto: WA)
Festival yang digelar pada hari Minggu 20 November 2011 ini, memberikan rekonstruksi tentang pernik kehidupan yang pernah terjadi di Bengawan Solo kepada generasi-generasi sekarang. Seperti melongok kembali ke masa silam, festival ini seolah-olah menghadirkan kembali para pedagang-pedagang yang sering melintasi Bengawan Solo pada masa itu. Lengkap dengan kostum dan atributnya, mereka mengendarai gethek membawa aneka barang dagangannya seperti hasil bumi, palawija, kain, hewan ternak, dll. Dihadirkan juga figuran yang memerankan tokoh kerabat kerajaan dan para ulama yang dahulu sering juga bepergian melalui sungai tersebut. Untuk mengiringi perjalanan mereka melintasi Bengawan Solo, serombongan gethek lain yang menampilkan berbagai atraksi seni tradisional seperti, musik bambu, musik genderang khas Tionghoa, jathilan, orkes keroncong, gamelan, perkusi, rombongan penari jawa, punakawan dan rombongan wayang orang, turut memberikan kemeriahan di sepanjang aliran Bengawan Solo.
Penggambaran saat para ulama dulu menyebarkan ajaran Islam dengan menyusuri Bengawan Solo. (foto: WA)
Rombongan gethek tersebut berangkat dari Kampung Ngepung, melintasi daerah Beton Kecamatan Jebres dan berakhir di Taman Ronggowarsito, sebuah kawasan wisata di Jurug daerah ujung timur kota Solo. Sesampainya di Taman Ronggowarsito-Jurug, peserta Festival Gethek disambut Tari Tayub ditengah kesejukan rimbunnya pohon-pohon besar yang berada di tepian Bengawan Solo.
Tari tayub pada masa sekarang sudah jarang dipertontonkan sebagai hiburan. (foto: SA)
Bengawan Solo selalu menjadi bagian dari dinamika kehidupan bagi masyarakat di Kota Solo. Ketika dijaga dengan baik, maka bengawan-pun akan memberikan dampak yang baik pula kepada orang-orang disekelilingnya. Ketika masyarakat mulai tidak peduli dan mencemarinya, maka bengawan-pun akan berubah menjadi sumber bencana, seperti banjir yang sering melanda di perkampungan sepanjang bantaran sungai. Festival Gethek 2011 ini sebagai pengingat kepada warga Kota Solo supaya senantiasa ikut menjaga Bengawan Solo agar airnya tetap mengalir sampai jauh dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat di sepanjang bantaran sungai seperti pada jaman kejayaannya dahulu. Salam Kratonpedia.
Walikota Solo Jokowi ikut sebagai peserta dalam festival gethek 2011. (foto: WA)
Walikota Solo, Jokowi. (foto: WA)
Srikandi diantara peserta festival gethek. (foto: SA)
Perahu masih menjadi sarana penyeberangan di Bengawan Solo hingga sekarang. (foto: WA)
(teks : Stefanus Ajie foto : Stefanus Ajie & Wd Asmara)