Nama Asliku Soimah Pancawati, Aku Dari Desa (2)

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

1.jpg

Namaku Soimah Pancawati, aku sudah tertarik dengan kesenian tradisional sejak masih SD, dari bakatku menyanyi, akhirnya aku bisa tampil di panggung tujuh belasan yang diadakan di desaku. Aku juga biasa nyanyi di acara hajatan tetangga kampungku , meski enggak dibayar, aku senang melakukannya.

19.jpg 

Pernah aku tampil nyanyi hingga ke luar kota, di kota Demak dan Semarang. Aku dapat bayaran Rp.3000,- saat itu. Aku hanya dapat honor kalau nyanyi di luar desaku. Setelah aku menyelesaikan sekolah menengah pertamaku di Banyutowo, aku hijrah ke Yogyakarta. Tepatnya ke Bantul yang letaknya tidak jauh dari kota Jogja.

23.jpg 

MM Ngatini, aku memanggilnya bulik (ibu cilik), bulik adalah adik kandung dari ibuku, bulik adalah orang yang telah merubah hidupku, beliau salah satu orang yang sangat berjasa dalam hidupku. Bulik memperhatikan bakat yang aku miliki sejak kecil, dan bulik mendorongku untuk meneruskan sekolah ke Jogja. Bulik Ngatini adalah pengajar tari di padepokan Bagong Kusudiardjo.

21.jpg 

Akhirnya aku masuk ke SMKI Bantul di tahun 1995 saat usiaku 15 tahun. Aku berminat ke jurusan tari, dan ternyata sudah penuh, akhirnya aku masuk ke jurusan karawitan. Tapi aku tetap belajar tari di sanggar seni, dan dengan bekal kemampuan nyanyiku di waktu kecil, seni karawitan membuat kemampuan vocalku berkembang dengan selalu berlatih membawakan tembang-tembang tradisional. Dan sejak saat itu aku mendapat julukan sebagai sinden. Aku memang belum merasa pantas disebut sebagai sinden saat itu, tapi panggilan itu membuat aku semakin semangat untuk belajar.

22.jpg 

Dari SMKI ini aku mulai mengenal kebaya, yang akhirnya menjadi ciri khasku saat aku tampil di panggung. Aku juga mulai sering bertemu dengan sinden dan penyanyi dangdut di beberapa acara pementasanku, dari situlah aku mengasah kemampuan panggungku. Setelah menyelesaikan sekolahku di SMKI, aku meneruskan kuliah ke ISI Yogyakarta pada tahun 1998. Tapi kuliahku jebol hanya sampai semester enam, karena konsentrasiku sudah mulai terpecah untuk menerima tawaran  panggung. Aku pernah bergabung dengan grup acapella mataraman milik mas Pardiman Joyonegoro, yang saat tampil selalu memakai kostum adat Jawa. Pernah juga bergabung menjadi anggota “Ketoprak komunitas conthong” pimpinan  mas Marwoto.

20.jpg 

Tampil di panggung memakai baju kebaya ternyata memberiku pengalaman paling pahit dan masih menyisakan rasa sakit hingga sekarang. Karena penonton merasa menampilanku tidak seksi dengan baju kebaya, aku dilempari tanah, botol, dan bahkan pernah aku “disogok” (ditusuk) pakai biting (batang lidi yang biasa digunakan untuk sapu) dari celah bawah panggung. Itu semua karena penampilanku dianggap ndeso (kampungan) dengan baju kebaya, tidak seksi seperti penyanyi dangdut kebanyakan. Buat aku itu sangat menyakitkan, karena justru perlakuan itu aku dapat saat pentas di panggung desa, yang dalam bayanganku kehidupannya masih menjujung nilai tradisi dan kesantunan. Tapi dari situlah aku makin semangat untuk terus mempertahankan “kendesoanku” dengan selalu menyelipkan semua hal yang berbau tradisi Jawa dalam setiap tampilanku di panggung.

27.jpg 

Kalau sekarang mengingat peristiwa dulu, kadang tertawa sendiri, meski waktu itu kejadiannya sangat menyakitkan hati. Itu semua terjadi karena aku memakai kebaya  dan   sangul, yang dianggap tidak seksi. Dan yang paling parah saat mengisi acara di daerah Tawangmangu di kaki gunung Lawu Kabupaten Karanganyar, tidak cuma botol dan batu yang melayang, tapi acungan cluritpun harus aku hadapi di kala itu.

24.jpg 

Aku memang bermimpi untuk menaklukkan dunia panggung, tapi tidak sedikitpun meninggalkan tradisi atau budaya asal usulku. Aku memang dari desa, dan masih banyak lagi orang dengan bakat seni dari desa, dan aku ingin seniman pinggiran tidak disepelekan atau dipandang rendah oleh orang yang merasa moderen atau orang desa yang merasa sudah moderen.

25.jpg 

Aku tidak pernah merasa gagal, atau menyesal dengan pilihanku, aku bangga dan bahagia atas proses yang sudah aku jalani. Karena sampai saat inipun sebenarnya aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi bintang atau dikenal banyak orang, semua hanya mengalir, dan aku tetap Soimah biasa yang berasal dari desa Banyutowo kampung nelayan pesisir pantai utara Jawa.

18.jpg 

Jogja Hip Hop Foundation adalah komunitas hip hop Jawa yang juga menjadi bagian penting dalam hidupku, mereka adalah teman-temanku, Marzuki, Antok,Lukman, Mamok, dan Balance. Dulu aku sering sepanggung dengan mereka membawakan lagu hip hop dengan berbahasa Jawa. Termasuk lagu yang sekarang populer “Crah agawe bubrah” ciptaan Budi Pramono itu sebenarnya sebuah kecelakaan, karena tidak sengaja terpublish lewat internet dan sekarang tersebar menjadi milik umum.

28.jpg 

Sebenarnya sekarang ini aku merasa semua impianku sudah terwujud, selain menikmati pekerjaanku, aku juga hidup bahagia dengan keluargaku. Aku menikah tahun 2002 dengan Koko laki-laki pujaanku, dan aku punya dua jagoan bernama Aksa Uyun Dananjaya 8 tahun anak pertamaku, dan Diksa Naja Naekonang 5 tahun anak bungsuku. Aku sudah pernah pentas di panggung New York dan Singapore, dan aku masih tetap norak, karena aku tidak suka terbang berlama-lama di pesawat.

16.jpg 

Setelah semua yang aku jalani dalam hidup selama ini, aku masih selalu mengingat masa-masa kecilku di perkampungan nelayan di sebuah desa sepi Banyutowo Kabupaten Pati. Masih terbayang wajah ibuku, masih tercium bau ikanku, dan masih terdengar lantunan suara kecilku. Dan aku masih teringat saat ibu berkata “ Kowe ki iso nek ming koyo ngono kuwi” (“kamu itu bisa kalau cuma seperti itu”) sambil menunjuk ke layar tivi, itu ucapan ibu bertahun-tahun lalu disetiap waktu menonton tivi bersamaku. Masa kecilku membawa aku menjadi seperti sekarang ini, maturnuwun buat semuanya, maturnuwun ibu. Salam kratonpedia.

30.jpg 

13.jpg 

12.jpg 

 (teks dan foto: Wd Asmara/kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos