Wayang Groove, Impian Seniman Muda Mutihan (episode-2)

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

4.jpg 

Suasana pagi  di kampung Mutihan masih sangat tenang, kampung yang terletak di daerah Sondakan Purwosari kota Solo ini letaknya tidak jauh dari kampung batik Laweyan. Sedikit kembali ke cerita episode satu, di kampung inilah tinggal komunitas seniman muda Mutihan yang sangat piawai memainkan alat musik tabuh atau perkusi. Selanjutnya tempat mangkal yang juga sekaligus sebagai bengkel kreatif mereka ini kita sebut saja dengan rumah Mutihan.

Rumah Mutihan saat pagi tampak sepi dan tidak terlihat berpenghuni, yang ada hanyalah sebuah motor vespa antik yang terparkir di teras depan. Aktifitas di rumah ini lebih banyak dilakukan pada tengah malam, dan hanya sesekali terlihat ada aktifitas di siang atau sore hari.

Suatu malam di hari berikutnya, jam di layar hand phone sudah menunjuk pada angka 22:30, dan saat memasuki teras depan rumah Mutihan, pintu masih tertutup rapat dengan lampu di dalam ruangan dalam keadaan menyala. Ketukan suara pintu depan membuahkan hasil, tak lama kemudian keluarlah salah satu penghuni yang langsung menyambut dengan ramah. Tunggul, begitulah dia biasa dipanggil, laki-laki muda berumur 20 tahun ini adalah adik kandung Plenthe. Nama lengkapnya Tunggul Supriatmojo, Tunggul menyukai musik sejak kecil, dan kesukaannya membuat dia belajar musik sejak muda usia khususnya jenis alat musik gendang Sunda dibawah bimbingan sang kakak hingga sekarang. “Saya mulai bermain musik sejak kelas 2 SMP, dan saya sekolah bayar sendiri dengan hasil saya bermain musik.”

7.jpgTunggul Supriatmojo 

Lain lagi dengan Pieecee (dibaca Pese) yang bernama asli Bambang Sudjarpinto, laki-laki berumur 29 tahun yang juga tinggal di rumah Mutihan ini menekuni banyak jenis aliran musik, mulai dari musik tradisional, keroncong, campursari, dangdut, pop, rock, serta mahir memainkan kendang reyog atau rampak gendang gemblok asli Tulungagung Jawa Timur daerah asalnya. Laki-laki yang keseharian melakukan aktifitas dengan ditemani vespa antiknya ini juga mempunyai keahlian membuat gendang, mulai dari gendang tradisional sampai gendang dengan model masa kini. Kecintaannya dengan musik tradisional telah membawanya  berkeliling ke berbagai kota di negeri ini hingga ke luar negeri, seperti ke Singapore, India dan Jepang. Dan semangatnya untuk menggali kemampuan bermain alat musik tabuh membuatnya menyempatkan diri untuk menimba ilmu di Wassawassa sekolah drum khusus Africa Tradition jenis djembe drum di Jepang.

6.jpgBambang Sudjarpinto (Pieecee/Pese) 

Itulah sedikit perkenalan dengan dua personel yang tergabung di Plenthe Percussion dengan sosoknya yang santun dan rendah hati, meski menyimpan semangat yang meledak-ledak saat bicara soal musik tradisi khususnya perkusi. Di rumah Mutihan ini suasananya sangat tenang, dan mereka hidup dengan kesederhanaan yang membuat nyaman bagi siapa saja yang singgah di tempat ini. Obrolan malam di rumah Mutihan tak lepas dari “uborampenya” atau kelengkapannya, yaitu teh dan kopi panas. Suasana hangat dan santai menjadi bagian penting dalam proses mereka melahirkan karya dan menggali inspirasi, selain juga sebagai bentuk komunikasi diantara mereka untuk saling bertukar ilmu dan ngobrol ngalor ngidul yang terkadang mendatangkan sebuah gagasan baru.

3.jpgVespa antik kendaraan favorit Pese 

8.jpgTunggul beraksi dengan racikan tehnya. 

Racikan teh buatan Tunggul ternyata menjadi favorit rumah Mutihan ini, para seniman rumah Mutihan adalah pribadi yang terampil mengurus kehidupannya sendiri dan terlihat “hepi” dengan apa yang mereka jalani. Apa yang mereka tampilkan di panggung dan cara menjalani kehidupan keseharian, sungguh sebuah keseimbangan hidup yang membuat mereka membumi. “Kalau kita lagi di atas panggung dengan kostum dan permainan perkusi kita, seolah kita seperti bintang dengan atribut kesombongan dan  keangkuhan” ucap Pieecee sambil menunjukan karya-karya sketsa batik yang dia buat. “Kita kan manusia biasa, kalau sehari-hari ya masak nasi sampai cuci piring-pun biasa saya lakukan, kalau ada teman atau tamu ya kita biasa buatkan teh atau kopi sendiri,......... silahkan saja...” tambah laki-laki yang mempunyai bakat lain melukis motif batik ini dengan tersenyum.

Malam terus beranjak menuju pagi, saat itu pukul 00:30 dini hari, suara motor terdengar dari arah teras depan rumah Mutihan. Rupanya ada tamu yang sedang  ditunggu Plenthe dan kawan-kawan, malam tersebut ada jadwal rekaman untuk pembuatan konsep musik keroncong dengan gaya baru. Karya keroncong moderen ini merupakan pekerjaan pesanan dari sebuah perusahaan rekaman di Jakarta yang biasa menggunakan keahlian Plenthe dan kawan-kawan seniman rumah Mutihan. Tamu yang datang tersebut adalah pemain keroncong senior di kota Solo, dan mereka baru saja pulang dari pementasan budaya di kota Denmark. Canda dan tawa menyambut kedatangan mereka dengan ditemani gelas-gelas yang berisi teh panas buatan Tunggul. Obrolan ngalor ngidulpun disambung dengan diskusi tentang konsep musikal keroncong gaya baru tersebut, dan tanpa melalui latihan yang panjang, proses rekamanpun langsung dimulai.

Kamar berukuran kecil yang sehari-hari digunakan sebagai tempat  beristirahat itu spontan disulap menjadi sebuah studio rekaman. Tunggul dengan sigap menyiapkan semua keperluan untuk rekaman, mulai dari menata kursi hingga  menyiapkan microphone  dan merapikan kabel. Dan proses rekaman dimulai pada pukul 01:00 hingga pagi hari, tak ada suara berisik atau lengkingan sound system yang mengganggu kelelapan tidur warga yang tinggal di gang sempit tersebut.

hilight_1_1.jpg

Teh nasgitel menemani waktu menghabiskan malam. 

5.jpg

9.jpg

11.jpg

10.jpg 

Akhirnya hujan turun juga, beberapa hari kemudian pada hari Minggu saat cuaca panas sangat menyengat hingga sore, tiba-tiba ditebus dengan guyuran air hujan pertama yang cukup deras. Menjelang malam hawa mulai terasa dingin setelah siraman air hujan yang cukup besar membuat beberapa bagian jalanan tergenang air. Hari itu Minggu malam saat cuaca terasa lebih dingin dari hari sebelumnya, Plenthe bersama Pieecee, Tunggul, Adi serta  seorang teman mereka, sedang nyantai di sebuah angkringan/wedangan lesehan di pinggir jalan sambil membicarakan beberapa rencana pementasan termasuk rencana mereka untuk mewujudkan pagelaran akbar Wayang Groove. Sesekali mereka guyonan dan diselingi latihan ala Mutihan. Latihan ala Mutihan adalah berlatih ketukan gendang tanpa menggunakan alat. Jadi hanya gerakan tangan seolah sedang memukul gendang dengan bantuan suara dari mulut, dan dari situlah muncul istilah spontan “caturan” atau suara gendang yang berasal dari mulut menjadi sebuah karya musikal. Mereka berlatih dengan notasi dari hati, begitu ungkap mereka dengan penuh semangat. “Banyak hal-hal yang gak enak udah kita lakoni, mau mentas kehujanan” sahut Tunggul, “Pernah juga ditawari tur budaya keluar negeri, tapi ditanya punya paspor gak?, yah tahulah jawabnya, dan akhirnya gak jadi...., belum lagi undangan mentas tapi tanpa honor, itu sudah biasa....” Pieecee menimpali dengan tertawa, “Tapi kita semangat terus, pokoke semangat” Tunggul memotong obrolan dengan spontan. Jalanan makin sepi dan malam kian dingin, disela-sela jagongan (ngobrol) merekapun menikmati makan dan minum ala wedangan pinggir jalan sambil sesekali melamun hingga suasana kembali sepi.

12.jpg

Angkringan atau wedangan adalah ruang meeting yang menyenangkan. 

hilight_4_1.jpg 

Serius tapi santai, tetap semangat! 

15.jpg 

Pese "in action" dalam video klip karya mereka.  

Terhambat biaya transport, dalam waktu dekat ini tepatnya tanggal 12 November 2011, mereka mendapat tawaran main di Jakarta dalam acara bertajuk : World Music Mahagenta, presents Indonesia to The World. Pentas di Taman Ismail Marzuki ini terancam menjadi mimpi belaka, karena panitia hanya menanggung akomodasi saja selama di Jakarta. Sementara dengan jumlah personel enam orang berikut peralatan, transportasi menjadi hambatan utama bagi mereka. Meski mereka dengan senang hati bermain tanpa mendapatkan honor, tapi untuk biaya berangkat bagi mereka bukanlah masalah kecil. Plenthe dan seniman muda rumah Mutihan-pun akhirnya berdoa semoga ada jalan keluar yang akan memihak kepada semangat mereka. “Buat kita biaya transport itu ya cukup berat, itupun hanya untuk sewa mobil biar muat alat dan personelnya bung, sama buat makan di jalan.” jawab Pieecee saat menutup pembicaraan malam itu. Tak sedikitpun terlihat kekecewaan dimata mereka, hidup realistis sudah biasa mereka hadapi setiap hari. Karena memang setiap ada pemasukan, mereka lebih prioritaskan untuk menambah peralatan pendukung, sehingga belum ada kas untuk biaya lain-lain. Begitulah hidup mereka, sekumpulan orang-orang muda kreatif yang realistis, dengan bakat-bakat luar biasa, meskipun jalan untuk mewujudkan mimpi kadang tidak semudah memesan teh panas dan sebungkus nasi kucing. Tetap semangat!. Salam kratonpedia.

2.jpg 

 (teks dan foto : Wd Asmara/kratonpedia)

 


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos